Oleh: Anandita Budi Suryana, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Seorang anggota DPR membicarakan wacana pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  karena tidak berhasil mencegah korupsi. Apakah perlu dibubarkan? Alih-alih berdebat tentang pembubaran KPK, akan bermanfaat semua pihak  memperhatikan kondisi korupsi saat ini. Menurut KPK ada 19 Bupati/Walikota yang tersangkut Operasi Tangkap Tangan (OTT) di tahun 2018. Jumlah ini belum termasuk OTT Aparatur Sipil Negara (ASN) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik di pusat dan daerah.

PPATK (Pusat Pengawasan dan Analisis Transaksi Keuangan) melalui UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, mewajibkan bank untuk melaporkan transaksi mencurigakan dan/atau transaksi tunai melalui transfer dengan batasan nilai Rp500 juta ke atas. Kewajiban juga berlaku untuk penyedia barang dan jasa mewah seperti developer properti, dealer kendaraan, pedagang perhiasan dan balai lelang dengan nilai transaksi Rp500 juta.

Hal menarik di India. Pemerintah Perdana Menteri Modi di tahun 2016 menarik pecahan rupee 500 karena sering dipalsukan untuk terorisme dan 1.000 rupee ditarik karena sering digunakan untuk menyuap. Tentu saja ini membuat kesulitan transaksi. Namun pemerintah India mengakomodasi sistem Paytm (Pay Through Mobile) sejak 2014 untuk transaksi pembayaran dengan scan barcode, sampai ke pasar-pasar. Di luar dugaan, aplikasi Paytm ini bisa menggantikan pembayaran tunai secara masif.

Beberapa negara telah menerapkan batasan non cash payment, diantaranya Italia, Mexico, dan Denmark. Italia menetapkan batasan lebih dari 1,000 poundsterling harus non tunai, untuk mencegah pencucian uang dan penghindaran pajak. Di Mexico, batasan tunai 100 ribu peso (US$ 7,700) untuk mencegah pembelian real estate, kendaraan dan barang mewah dengan uang ilegal. Denmark membatasi tunai maksimal 10,000 krone (setara 1,330 pounds) untuk mencegah penghindaran pajak dan mendeteksi transaksi terutang PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Amerika Serikat (AS) sendiri menerapkan batasan maksimal tunai US $10,000.

PPATK belakangan ini sudah mengajukan revisi UU No8/2010 dengan batasan tunai menjadi maksimal 100 juta. Secara nyata ada memang dua celah: pertama, batasan nilai transaksi sebesar Rp500 juta terlalu besar, karena transaksi kurang dari Rp500 juta tidak perlu dilaporkan ke PPATK. Celah ini juga dimanfaatkan penyedia barang dan jasa mewah batasan nilai Rp500 juta dengan skema tunai keras. Kedua, batasan pembayaran tunai belum ada sehingga nasabah leluasa mencairkan dana tunai berapapun besarnya untuk membayar semua barang. Alasan nasabah mengambil tunai untuk membayar gaji karyawan dan pembelian bahan baku produksi, tidak masuk akal, karena semuanya bisa ditransfer via rekening bank.

Maka bukan KPK yang dibubarkan tapi korupsi yang harus dicegah dengan pengawasan transaksi. Agar pengawasan maksimal, perlu ada pembatasan nominal pembayaran tunai dan mengedepankan pembayaran non tunai (non cash payment), termasuk penukaran valuta asing. Ini menjadi domain PPATK. Dalam kasus OTT terakhir KPK di Jakarta Selatan, terduga penyuap menukar dollar Singapura di money changer secara tunai untuk suapt. Sedangkan dari sidang kasus OTT KPK tahun 2017 atas seorang pejabat eselon satu, bahwa penyuap melakukan penyamaran kepemilikan rekening bank. Kemudian atas rekening tersebut, kartu ATM dipegang oleh tersangka. KPK ternyata bisa melakukan arus keuangan dengan metode ini.

Dalam sistem penerimaan negara, model perpajakan di Italia, Mexico, Denmark dan AS menerapkan self assessment. Wajib pajak mengisi laporan penghasilan dan menyetorkan pajak secara sukarela karena transaksi keuangan di perbankan dan lembaga keuangan lain sudah terawasi oleh Pemerintah. Jika ada kecurangan, otoritas pajak dengan mudah akan mengusut kasus tersebut.

Korupsi tidak bisa dipandang hanya stand alone crime. Uang suap pasti dihitung pengusaha sebagai biaya untuk pengurang penghasilan yang seharusnya dikenakan pajak. Sebagai contoh, jika penyuap menyerahkan suap 1 miliar, maka perusahaan ini akan membiayakan pengeluaran 1 miliar ini sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak, entah dengan dalih fiktif atau apapun. Akibat suap ini, negara dirugikan dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan sebesar 25 persen dikalikan 1 miliar atau 250 juta.

Langkah maju Pemerintah adalah penetapan UU Nomor 9 Tahun 2017 yang mengesahkan Perppu No 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Aturan UU ini mewajibkan Bank dan Lembaga lainnya menyampaikan informasi keuangan (saldo) nasabah per akhir tahun, paling lambat akhir April tahun berikutnya. Masalahnya, masyarakat masih ada pilihan untuk menggunakan tunai dalam transaksi sehingga tidak semua melalui bank.

Pembayaran non tunai

Inti pembatasan tunai adalah mewajibkan masyarakat untuk menggunakan instrumen perbankan untuk jual beli dan pembayaran lainnya. Pengaturan non tunai mungkin dilakukan karena jumlah rekening bank sudah mencapai 55 persen jumlah penduduk. Belum lagi kanal pembayaran online payment seperti Go Pay dan OVO yang masif digunakan oleh pengguna seluler untuk pembayaran belanja online.

Pemerintah Indonesia dan DPR harus segera mengesahkan pembatan tunai, bahkan kalau bisa jauh dibawah 100 juta. Pemerintah hanya perlu mengatur transaksi business to businessbusiness to person atau person to person menggunakan mekanisme non cash payment. Misalnya secara bertahap tahun 2019 maksimal hanya Rp100 juta, tahun 2020 turun ke Rp50 juta dan tahun 2021 maksimal Rp25 juta, sisanya harus kartu debit, kartu kredit, transfer bank atau online payment. Tidak ada valuta asing tunai tapi harus dengan bank notes.

Kepentingan Pajak

Dari pencatatan non cash payment, memudahkan akses Pemerintah untuk memantau data lalu lintas keuangan yang setara Produk Domestik Bruto senilai Rp16.000 triliun (asumsi APBN pada tahun 2019). Data ini digunakan sebagai data reference untuk crosscheck kebenaran isian SPT Tahunan pajak penghasilan. Untuk pengawasan wajib pajak diperlukan data eksternal indikasi penghasilan seperti pembelian polis asuransi, kendaraan bermotor, properti, dan surat berharga/efek.

Misalkan untuk kepentingan legalisasi setoran pajak transaksi pengalihan properti. Ada kewajiban mencantumkan nomor rekening bank, namun wajib pajak masih bersikeras metode pembayaran pengalihan secara tunai. Tentu tidak masuk logika transaksi ratusan juta bahkan milyaran dengan tunai. Dengan revisi UU No8/2010 tentang batasan pembayaran tunai, maka wajib pajak saat legalisasi setoran pajak, wajib mencantumkan nomor rekening bank sehingga kantor pajak bisa melacak kebenaran transaksi tersebut.

Dengan pencatatan non cash payment secara tertib, Negara akan mudah melacak keabsahan transaksi. Penjual harus melaporkan nama pembeli barang dan jasa mewah. Jika Pemerintah mendapat laporan transaksi barang dan jasa mewah, namun transaksi itu tidak terindikasi PMH (Perbuatan Melanggar Hukum), maka pemungutan pajak atas transaksi itu dioptimalkan.

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/pembatasan-tunai-dan-pajak

SH