NERACA SUMBER DAYA ALAM, PERLUKAH?
Oleh Primas Anggono, Pegawai Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Kupang
“…Hutannya lebat seperti rambutku, gunungnya tinggi seperti hatiku, lautnya luas seperti jiwaku, alamnya ramah seperti senyumku…,” sepenggal lirik grup legendaris Koes Plus menggambarkan betapa kayanya bumi pertiwi. Jauh hari sebelum lirik tersebut dibuat, para pendiri bangsa kita telah melihat jauh ke depan mengenai pentingnya kekayaan alam Indonesia. Hal tersebut dituangkan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sebuah amanat dan cita-cita mulia para pendiri bangsa agar segala sumber daya alam dikelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.
Definisi kekayaan yang dikuasai oleh negara adalah kekayaan negara atas bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta kekayaan lainnya dalam wilayah dan yurisdiksi Republik Indonesia yang dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.06/2016). Dalam Moving Beyond GDP yang disusun oleh Wealth Accounting and the Valuation of Ecosystem Services (WAVES), pengertian natural capital adalah segala sumber daya alam (SDA) yang meliputi sumber daya mineral, energi, kehutanan, lahan pertanian, perikanan, air, dan udara. Mayoritas kontribusi vital yang dihasilkan oleh alam tersebut bersifat “ínvisible” dan hingga saat ini belum tergambarkan dalam laporan neraca pemerintah sehingga economic value yang dihasilkan kekayaan alam tersebut berpotensi hilang karena belum tercatat.
Sejauh ini SDA menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang signifikan. Capaian PNBP sektor SDA (migas dan non migas) sampai dengan periode 30 November 2018 mencapai hampir 1,5 kali dari target PNBP sektor SDA dalam APBN 2018, yaitu 153.747,47 miliar rupiah. Bahkan, realisasi penerimaan sektor SDA tersebut sudah menyumbang 55,82% dari total target PNBP 2018. Angka yang cukup fantastis.
Selain sebagai salah satu negara yang kaya akan hasil alamnya, Indonesia ternyata juga berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan di bumi. Konsultan lingkungan PEACE (2007), menyatakan dalam laporannya bahwa Indonesia termasuk salah satu negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia karena perubahan tata guna lahan dan terjadinya pembalakan liar (deforestation). Tingginya gas rumah kaca yang dilepaskan akibat pembalakan liar hutan mengakibatkan karbondioksida dalam jumlah besar berkeliaran bebas di udara yang berpengaruh pada perubahan iklim. Terjadinya perubahan iklim (climate change) dan eksploitasi kekayaan alam yang terus menerus mengakibatkan banyak negara mencari cara untuk dapat mengidentifikasi SDA yang ada yaitu dengan penyusunan neraca SDA.
Dengan disusunnya neraca SDA, pemerintah dapat mengetahui nilai ekonomis SDA, perubahan cadangan SDA dari waktu ke waktu serta hubungan/interaksi antara kekayaan alam dengan pembangunan. Data dan informasi yang tersaji dalam neraca tersebut diharapkan dapat membantu para policy maker dalam merumuskan kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam yang sejalan dengan asas pembangunan keberlanjutan (sustainability development). Australia menjadi negara awal yang mengadopsi penyusunan SDA ke dalam laporan neraca mereka. Hal yang mendorong penyajian tersebut adalah terjadinya kekeringan yang melanda Australia. Saat itu, pemerintah Australia merasa bahwa ketersediaan air tidak sebanding dengan tingginya kebutuhan pengguna sumber daya air. Sehingga, pemerintah Australia merasa perlu untuk menyajikan ketersediaan air ke dalam neraca. Pada Tahun 1980-an, Australia mulai mencoba untuk menghitung seberapa besar pengaruh ketersediaan air beserta penggunaannya ke dalam neraca dengan cara menghitung jumlah air yang digunakan oleh berbagai sektor serta harga konsumsi yang harus dibayar oleh sektor-sektor tersebut. Dengan pencatatan sumber daya air dalam neraca, Australia dapat memperkirakan kebutuhan konsumsi air saat kekeringan datang. Bahkan hingga saat ini, Australia telah memperluas jangkauan neraca mereka dengan ikut memperhitungkan sektor energi, mineral, tanah serta lingkungan di dalam neraca.
Di Indonesia, penyusunan neraca SDA masih bersifat sektoral dan belum menggambarkan hubungan/interaksi sumber daya alam dengan ekonomi suatu negara. Sebagai gambaran, penyusunan neraca sumber daya hutan dilakukan oleh kementerian terkait, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Begitupun penyusunan neraca sumber daya energi, mineral, gas alam, batubara yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Neraca-neraca tersebut masih berupa neraca fisik yang belum menggambarkan seberapa besar nilai ekonomi yang dimiliki oleh sumber daya tersebut. Penyusunan neraca SDA yang masih bersifat sektoral dan belum komprehensif tersebut menjadi salah satu kendala pemerintah dalam mendukung terwujudnya SDGs (The Sustainable Development Goals).
Beberapa lembaga tinggi negara juga telah menyampaikan urgensi penyusunan neraca SDA. Dalam pembahasan transparansi implementasi fiskal pemerintah pusat tahun 2012-2013, BPK merekomendasikan agar pemerintah membuat laporan neraca yang memuat nilai dan kondisi SDA (termasuk legal ownership dan nilai ekonominya). Pada tahun 2014, DPR juga telah menyampaikan agar pemerintah membuat laporan yang menampilkan kekayaan alam Indonesia. Selain itu, lembaga anti rasuah KPK juga mulai berfokus pada sumber daya alam dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi. KPK melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) memberi masukan agar pemerintah memiliki akses terhadap informasi/data terkait jumlah, kondisi, dan nilai SDA sehingga kekayaan alam Indonesia dapat dimonitor dengan baik.
Kementerian Keuangan menyadari pentingnya penyusunan neraca SDA. Kementerian Keuangan telah menyusun Inisiatif Strategis (IS) yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 974/KMK.01/2016 tentang Implementasi Inisiatif Strategis Program Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan. Salah satu IS dengan tema perbendaharaan menyebutkan bahwa perlu adanya pemberdayaan aset untuk mendorong perekonomian nasional. Salah satu terobosan yang dapat dilakukan adalah penyusunan neraca SDA dan laporan potensi fiskal SDA. Unit yang bertanggung jawab menindaklanjuti IS tersebut adalah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku Pengelola Aset. Kerja sama dengan WAVES yang merupakan World Bank-led global partnership dalam bidang pembangunan berkelanjutan juga dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Aktivitas kerja sama yang dilakukan antara lain berupa asistensi, knowledge-sharing, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Neraca SDA yang nantinya disusun akan mengadopsi System of Environmental-Economic Accounting (SEEA), sebuah standar internasional yang memberi gambaran kompehensif antara ekonomi dan alam.
Dengan mengetahui urgensi penyusunan neraca SDA, sudah seharusnya berbagai pihak terkait menjalankan langkah-langkah strategis yang berkesinambungan serta saling bersinergi guna mewujudkan keakuratan informasi dan data dalam penyusunan neraca SDA. Kendala dan tantangan pasti ditemui, namun semangat untuk mewujudkan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 haruslah tetap menggelora untuk Indonesia yang lebih baik.
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/neraca-sumber-daya-alam-perlukah/
MSD
Comments :