Oleh: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Awal November 2017, The New York Times mengulas hasil statistik perbedaan tulisan tentang cinta dari penulis pria dan wanita yang diolah dari hasil penelitian berbagai esai selama empat tahun terakhir dan memetakannya. Walhasil, ketika menulis tentang cinta, pria cenderung menulis tentang tindakan atau aksi, sedangkan perempuan condong menulis tentang perasaan.

Temuan ini cukup memberikan gambaran atas korelasi perbedaan jenis kelamin dalam memandang sesuatu termasuk mengungkap sumber kesalahpahaman yang terjadi pada sebuah hubungan. Padahal, kesalahpahaman seharusnya tak perlu terjadi bila tiap orang mengenali “bahasa cinta” pasangannya.

Apakah itu Bahasa Cinta?

Konsep tentang “bahasa cinta” mula-mula diperkenalkan oleh Gary Chapman pada tahun 1995 melalui sebuah buku berjudul “The 5 Love Languages: The Secret to Love That Lasts”. Buku ini ditulis berdasarkan pengalamannya selama lebih dari 35 tahun sebagai konselor pernikahan. Buku itu sendiri berhasil terjual lebih dari sebelas juta eksemplar dan diterjemahkan ke lebih dari lima puluh bahasa.

Gary Chapman menguraikan lima cara untuk mengungkapkan dan membuat pasangan kita merasa dicintai, yaitu: perbuatan untuk melayani, kata-kata pendukung, waktu berkualitas, sentuhan fisik, dan hadiah. Menurut teori, setiap orang memiliki preferensi satu bahasa cinta yang utama dan bahasa cinta sekunder yang menjadi acuan untuk membuatnya merasa dicintai. Hal ini dipengaruhi oleh gender, pola asuh, atau pengalaman di masa lalu. Bila sinyal atau bahasa cinta seseorang tidak dalam frekuensi yang sama dengan pasangan sehingga tidak dapat ditangkap oleh radarnya, ini bisa menjadi masalah besar.

Sebagai contoh: seorang istri mengeluh merasa tak diperhatikan lantaran suaminya sering pulang malam, padahal sang suami berpikir telah membanting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarga. Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa cinta yang diharapkan sang istri kemungkinan adalah waktu berkualitas dan bahasa cinta sang suami bisa jadi adalah perbuatan untuk melayani. Bila masing-masing bersikukuh mengejawantahkan cinta dalam bahasa yang berbeda, maka bagaimana mungkin getaran itu akan tersampaikan?

Sebuah kondisi di mana masing-masing pihak merasa sudah banyak memberi namun tak kunjung mendapatkan balasan dapat menyebabkan hambarnya sebuah hubungan. Kondisi ini dianalogikan sebagai kosongnya “Tangki Cinta” emosional seseorang. Bagaimana mungkin bisa mencintai seseorang -atau sesuatu- bila ia menganggap cinta pasangannya telah layu? Rupanya perkara cinta tak pernah benar-benar sederhana.

Selanjutnya, kita harus menemukan cara yang tepat untuk dapat mengenali bahasa cinta primer kita dan juga bahasa cinta apa yang diharapkan oleh pasangan, sehingga dapat tercapai keharmonisan dan pemaknaan baru dalam sebuah hubungan. Mengutip kalimat dari Stephen R. Covey, “Mencintai adalah kata kerja. Rasa cinta adalah buah dari tindakan mencintai. Cintailah dia. Layanilah dia. Berkorbanlah untuknya. Dengarkanlah dia. Berempatilah. Berilah dia dorongan dan semangat. Apakah Anda mau melakukannya?”

Implementasidi Dunia Kerja

Teori yang menginspirasi jutaan pasangan ini kemudian dikembangkan dalam berbagai bidang dan diuraikan dalam belasan buku seri Lima Bahasa Cinta dengan tema yang berbeda. Dalam dunia pendidikan, para pakar pengasuhan seringkali menyajikan konsep ini untuk mengingatkan orang tua agar mengisi penuh “Tangki Cinta” anaknya, terutama di masa keemasan lima tahun pertama kehidupannya. Kekeringan wadah emosional pada anak ini bahkan dituding sebagai bibit dari kenakalan remaja dan akar dari permasalahan dalam menjalin hubungan dengan pasangan ketika dia berumah tangga kelak.

Demikian pula dalam dunia kerja, bahasa cinta bertransformasi menjadi bahasa apresiasi. Presisi menjadi kata kunci dalam mengenali lima bahasa apresiasi yang diinginkan manusia agar interaksi antarindividu menjadi lancar dan tercipta harmoni yang indah. Sejauh mana kita mampu memahami bahasa primer dan sekunder yang dibutuhkan rekan kerja sehingga terbentuk lingkungan kerja yang kondusif. Bila kondisi positif ini dialami setiap hari, maka tak mustahil kita akan selalu bersemangat ke kantor dan menghasilkan karya-karya penuh makna, tak melulu semata mengejar materi dunia.

Tak dapat dipungkiri, sebagian besar pegawai menjadikan faktor finansial sebagai motivasi utama. Namun, kepuasan dalam bekerja juga dipengaruhi apresiasi dari organisasi. Itulah kenapa pemberian penghargaan kepada pegawai berprestasi mempunyai peran yang penting dalam meningkatkan performa dan menunjukkan apresiasi yang baik dari institusi. Pemberian penghargaan ini akan memenuhi kebutuhan eksistensial pegawai.

Menurut Maslow, kebutuhan eksistensial akan muncul setelah kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang terpenuhi. Lalu, apakah apresiasi hanya dapat terwujud dalam bentuk pengakuan formal belaka? Apakah itu benar-benar sesuai dengan bahasa apresiasi yang diinginkan oleh penerima penghargaan? Hal ini menjawab pertanyaan atas penyebab sebuah fenomena yang unik, di mana beberapa pegawai yang dinominasikan untuk menerima penghargaan memilih mundur dan tak optimal dalam berkompetisi.

Rupanya, bahasa apresiasi bagi mereka bukanlah penghargaan semacam itu melainkan hal lain seperti:lokasi kantor yang mudah diakses dari rumah tinggal, kenyamanan yang sudah terbangun di lingkungan kerja, hilangnya ketakutan akan dimutasi ke tempat yang jauh,atau hilangnya kekhawatiran tidak diterima di lingkungan yang baru. Bagi beberapa orang tersebut, bentuk apresiasi bisa sesederhana senyum dan jabat erat saat rekan sejawat mencapai target atau pendampingan dari atasan saat ia mengalami kendala dalam menyelesaikan tugas.

Dengan mengenali bahasa apresiasi yang tepat dan upaya-upaya memenuhi “Tangki Emosi” sesama, akan tercipta pemahaman yang tinggi di antara pegawai. Konflik yang memicu perpecahan juga akan mudah dihindari. Toleransi dan penghargaan di dunia kerja tak sekadar mimpi.

Cinta memang bahasa universal, hanya mampu dipahami oleh para pecinta sejati. Selayaknya ia senantiasa dipupuk dan disirami agar keindahannya menjalar ke tiap detak nadi. Bukan dengan hardikan atau sindiran, melainkan dengan ketulusan dalam nasihat dan kebersamaan. Bukan dengan saling menyalahkan apabila terjadi kekurangan, namun upaya mencari solusi yang harus dikedepankan.

Dengan demikian, nilai-nilai sinergi dalam tim akan terjalin dan tercipta keselarasan dalam bekerja. Para pemangku kepentinganjuga akan senang, termasuk para wajib pajak yang dilayani dengan sepenuh hati. Wajib pajak yang mendapatkan perlakuan baik akan merespons positif atas pelayanan prima ini (Frey and Feld, 2002). Pada akhirnya, respons positif ini akan menyebabkan tumbuhnya persepsi positif terhadap institusi dan diharapkan turut mendongkrak kepatuhan pajak. Muaranya tentu untuk mencapai penerimaan pajak yang optimal sebagaimana yang diamanatkan tujuan Reformasi Perpajakan.(*)

Mengungkap Bahasa Cinta dalam Pelayanan Pajak

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/mengungkap-bahasa-cinta-dalam-pelayanan-pajak

SH