Oleh: Sri Lestari Pujiastuti, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Perdagangan bebas (free trade) adalah konsep teoritis yang mengandaikan berlakunya sistem perdagangan internasional yang dibebaskan dari hambatan yang disebabkan oleh ketentuan pemerintah suatu negara, baik yang disebabkan oleh pengenaan tarif (tariff barriers) maupun nir-tarif (bukan tarif / non-tariff bariers) (Heri Muliono : 2001). Skema free trade memiliki potensi untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi negara lebih cepat dan bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak terkecuali untuk Indonesia.

Free trade merupakan pengembangan dari teori yang dikemukakan oleh Adam Smith “The Wealth of Nation (1776)” yang intinya menyebutkan bahwa satu negara/bangsa dikatakan sejahtera jika ada surplus (dana lebih) antara anggaran negara dan konsumsi masyarakatnya. Juga sebaliknya, negara dikatakan miskin/belum sejahtera jika anggaran negaranya defisit. Untuk memperoleh surplus anggaran, maka negara tersebut dituntut menaikkan produksi barangnya dan menjualnya ke luar negeri (karena jika hanya dijual di dalam negeri tidak akan menambah pendapatan). Agar barang produksinya dapat beredar di negara lain, maka diperlukan kemudahan dalam tarif/bea masuk dan keluar barang (ekspor-impor) serta efisiensi dalam produksi. Terbuka lebarnya lalu lintas investasi dan ekspor barang, berimplikasi pada meningkatnya lapangan pekerjaan dan pendapatan masyarakat.

Pada tahun 2000 Kota Sabang telah ditetapkan sebagai Kawasan Bebas. Menyusul kemudian Batam, Bintan, dan Karimun pada 1 April 2009. Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Cukai. Fasilitas PPN yang diberikan terkait penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) meliputi PPN tidak dipungut dan PPN dibebaskan. Perbedaan perlakuan dengan daerah lain ini menuntut Kawasan Bebas memiliki batas-batas yang jelas berikut pengawasan atas fasilitas yang telah diberikan.

Pada tahun 2012 Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan Cukai Serta Tata Laksana Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada Di Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 16B ayat (1) huruf a UU PPN dan Pasal 115A ayat (2) UU Kepabeanan.

Sebagai pelaksanaan PP 10 Tahun 2012 pada 23 November 2017, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Nomor PMK-171/PMK.03/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-62/PMK.03/2012 Tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, Serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Kawasan Bebas Ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Ke Kawasan Bebas. Beleid yang berlaku 30 hari sejak tanggal diundangnya tersebut mengatur lebih tegas dan jelas pemberian fasilitas PPN dibebaskan atas penyerahan JKP ke Kawasan Bebas.

Fasilitas PPN atas Penyerahan Jasa 

JKP yang dimanfaatkan di Kawasan Bebas pada dasarnya dapat berasal dari tempat lain di dalam Daerah Pabean atau Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus atau pun dari Pengusaha yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Kawasan Bebas.

Beberapa poin perubahan terkait dengan penyerahan JKP ke Kawasan Bebas telah diperjelas dan dipertegas dalam PMK-171 Tahun 2017, khususnya terkait dengan fasilitas PPN dibebaskan. Setiap jasa yang diterima perusahaan di Kawasan Bebas dari perusahaan di luar Kawasan Bebas dikenakan PPN. Penyerahan JKP di Kawasan Bebas memperoleh fasilitas PPN di bebaskan terbatas hanya jika Pengusaha yang menyerahkan JKP bertempat tinggal atau berkedudukan di Kawasan Bebas.

Sementara itu, terkait dengan fasilitas PPN tidak dipungut yang melekat pada penyerahan JKP Tertentu tidak ada perubahan sama sekali. Dari mana pun asal Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan JKP Tertentu fasilitas PPN tidak dipungut tetap dapat diberikan. Terkait penyerahan JKP Tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP 69 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK-193/PMK.03/2015) yang terpisah.

Dalam aturan sebelumnya (PMK-62 Tahun 2012) dijelaskan, penyerahan JKP dari tempat lain di dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang penyerahannya tidak dilakukan di Kawasan Bebas, dikenai PPN. Begitupun atas penyerahan JKP dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas yang penyerahannya tidak dilakukan di Kawasan Bebas, dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Atau dengan kata lain diberikan atau tidaknya fasilitas PPN dibebaskan tergantung di mana JKP diserahkan tanpa mempertimbangkan dari mana JKP tersebut berasal. Jika JKP diserahkan di dalam Kawasan Bebas maka fasilitas PPN dibebaskan dapat diberikan, dan sebaliknya jika diserahkan di luar Kawasan Bebas maka penyerahan JKP tersebut terutang PPN.

Kapan saat terjadinya penyerahan JKP telah diatur dalam Pasal 17 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012. Penyerahan JKP terjadi pada saat (a) harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; (b) kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak diketahui; (c) dan mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak.

Dalam pelaksanaannya penerapan Pasal 10 ayat (5) dan (6) PMK-62 Tahun 2012 seperti Penulis uraikan di atas seringkali menimbulkan salah tafsir di antara wajib pajak sendiri (penerima dan pemberi JKP) ataupun antara wajib pajak dengan Fiskus. Pengawasan kapan terjadinya penyerahan JKP tidak serta merta dapat dilakukan oleh Fiskus. Sebagai penutup Penulis meyakini sebuah peraturan perundang-undangan yang baik seyogyanya tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, mudah dalam pelaksanaan maupun pengawasannya. Kejelasan dan ketegasan tersebut telah tertuang dalam PMK-171 Tahun 2017.

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/fasilitas-ppn-atas-penyerahan-jasa-ke-kawasan-bebas-dipertegas-0

SH