Oleh: Teddy Ferdian, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Subulussalam baru saja melaksanakan kegiatan Tax Office Tour pada hari Rabu, 7 November 2018. Kegiatan yang merupakan bagian dari Pekan Inklusi 2018 KPP Pratama Subulussalam ini dilaksanakan dengan mengundang siswa-siswi dari sekolah dasar untuk melakukan tour ke KPP Pratama, Subulussalam. Di sini mereka mempelajari tentang proses kerja di kantor pajak, profesi pegawai, dan bagaimana menumbuhkan kesadaran pajak sejak dini yang dikemas dalam bentuk kegiatan menarik.

Ini merupakan kali kedua dalam sebulan terakhir ini saya terlibat dalam kegiatan yang mengharuskan saya dan tim untuk berinteraksi dengan para pelajar sekolah dasar. Sebelumnya saya terlibat dalam kegiatan Kemenkeu Mengajar 3 Pulau Banyak, Aceh Singkil. Kegiatan ini merupakan kegiatan kerelawanan “mengajar sehari” di sekolah dasar untuk memperkenalkan institusi Kementerian Keuangan termasuk profesi yang ada di dalamnya dan menghubungkannya dengan pencapaian cita-cita para siswa. Dua kegiatan tersebut sangat menyenangkan dan seru pastinya, namun memiliki tantangan tersendiri bagaimana ‘mengambil hati’ anak untuk dapat memperhatikan apa yang kita sampaikan.

Anak-anak dan kenyamanannya

Di luar dugaan, ternyata anak-anak sekolah dasar sangat ’welcome’ dengan kehadiran sosok-sosok asing di sekolah mereka. Tidak ada sedikitpun tatapan merasa terancam yang terpancar dari mata dan wajah mungil mereka. Justru proses pembauran tim relawan dengan siswa-siswi  terasa sangat cepat. Pun begitu dengan kegiatan Tax Office Tour. Sejak kaki-kaki kecil mereka melangkah memasuki ‘kantor pajak’, senyum dan tawa mereka mulai terlihat ketika berjalan sambil bersenda gurau dengan teman-temannya. Tawa yang belum lebar memang, namun hal ini menjadi sebuah pertanda bahwa ada setitik rasa senang dalam diri mereka ketika memasuki gedung kantor pajak. Sedikit percikan semangat akan dengan mudah mencairkan suasana saat nanti kegiatan dimulai.

Entah mungkin karena sebelumnya bapak dan ibu guru sudah menyampaikan ke anak-anak didiknya untuk bersikap baik ketika berada di kantor pajak. Bisa jadi karena mereka datang bersama teman-teman yang mereka kenal. Atau mungkin memang benar, suasana kantor yang menimbulkan suasana nyaman di hati mereka. Bagaimanapun juga arena yang mereka masuki bukanlah taman bermain, bukan tempat hiburan layaknya Dunia Fantasi atau Kidzania, bukan pula taman bacaan yang bisa jadi menimbulkan daya tarik tersendiri bagi anak. Yang mereka masuki adalah ruangan asing penuh sekat, meja-meja, komputer yang mungkin tidak ada niat mereka untuk memasukinya jika tidak ada undangan dari kantor pajak. Sedikit senyum saja yang mereka hadirkan terasa sangat luar biasa sebagai pertanda bahwa mereka merasa aman dan nyaman. Bisa ditebak apa yang selanjutnya terjadi. Seisi kantor penuh semangat muda pada hari itu. Teriakan yel-yel, nyanyian, suara gelak tawa anak-anak pun pecah di setiap sudut ruangan kantor yang mereka kunjungi. Raut wajah gembira jelas terpancar dan sorot mata bahagia pun terlihat.

Menumbuhkan kesadaran pajak

Saya jadi berpikir, bagaimana jika masyarakat umum, wajib pajak dan calon wajib pajak merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan anak-anak tersebut. Saat memasuki kantor pajak, ada rasa senang dan nyaman. Senang dengan suasana kantor dan nyaman dengan sambutan dari pegawai. Kantor yang mungkin bagi sebagian orang pada awalnya berada di urutan terakhir dalam daftar kantor yang akan mereka kunjungi, bisa saja berubah menjadi kantor yang dirindukan untuk selalu dikunjungi. Saya jadi berpikir, bagaimana jika wajib pajak dan calon wajib pajak merasa nyaman, tidak merasa terancam dengan kehadiran pegawai pajak di tempat usaha mereka. Bagaimana mereka dapat menyambut ‘pegawai pajak’ dengan senyum ikhlas karena sadar bahwa hal postif akan dialirkan oleh pegawai tersebut untuk memperkaya pengetahuan mereka tentang pajak. Tidak masalah sebab yang menyebabkan hal tersebut. Apakah cerita positif yang diceritakan teman mereka tentang bagusnya pelayanan di kantor pajak. Apakah rasa nyaman yang timbul karena mereka ke kantor pajak bersama dengan teman atau orang terkasih. Atau apakah karena mereka memang kenal dengan pegawai pajak yang bersikap profesional dalam melayani wajib pajak.

Rasa nyaman ini bisa jadi merupakan awal tumbuhnya kesadaran pajak walaupun bukan juga menjadi satu-satunya sebab. Kesadaran pajak dapat timbul karena wajib pajak mendapatkan informasi yang tersampaikan dengan cara yang tepat sehingga menggerakkan hati wajib pajak atau calon wajib pajak tentang pentingnya pajak yang dia bayarkan kepada negara. Kesadaran pajak yang seperti ini tumbuh dengan seringnya wajib pajak berinteraksi dengan pegawai pajak. Dengan kesadaran pajak yang dimiliki, wajib pajak dapat menularkannya kepada masyarakat lain. Wajib pajak dapat menjadi ‘agen pajak’ untuk menceritakan tentang pentingnya pajak bagi negara. Semakin banyaknya wajib pajak yang sadar pajak, maka akan semakin cepat ‘penularan virus’ sadar pajak dapat terjadi. Para guru dapat memasukkan materi kesadaran pajak dalam bidang studi pelajaran yang disampaikan. Para dosen dapat melakukan hal yang sama untuk mahasiswa. Para orang tua dapat menyampaikan kepada anak-anaknya. Pimpinan perusahaan dapat menyampaikan kepada anak buahnya. Dan ‘sadar pajak’ akan menjadi budaya.

Sadar pajak tanggung jawab bersama

Inilah sebenarnya inti dari dilakukannya inklusi kesadaran pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ingin menyampaikan pesan bahwa menumbuhkan kesadaran pajak bukan hanya eksklusif menjadi tanggung jawab insan DJP, namun  juga dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali. Pegawai DJP yang berjumlah 40 ribu masih terlalu sedikit jika harus mengcover 250 juta jiwa penduduk Indonesia. DJP butuh peran serta masyarakat. Peran serta yang diharapkan dapat tumbuh sejak dini, sejak usia kanak-kanak. Oleh karena itu ada inklusi kesadaran pajak dalam dunia pendidikan.

Anak-anak yang ikut serta dalam kegiatan Tax Office Tour dan Kemenkeu Mengajar saat ini mungkin masih berusia 8-10 tahun. 27 tahun lagi, di tahun 2045, mereka akan berusia 35-37 tahun. Usia yang sangat produktif, generasi emas bangsa. Di antara mereka mungkin sudah ada yang menjadi guru, dokter, insinyur, tentara, pengusaha, atau bahkan mungkin pegawai pajak. Terlepas apakah itu sesuai dengan cita-cita masa kecil mereka, namun diharapkan sadar pajak yang digaungkan selama kegiatan masih ternginag-ngiang di telinga mereka.

Saat ini mungkin mereka belum memahami betul mengapa Bapak-bapak dan Ibu-ibu di kantor pajak terus menyebut kata sadar pajak melalui yel-yel, nyanyian, tarian, dan permainan. Tetapi di usia mereka, biasanya apapun hal yang disampaikan, apalagi dengan cara yang unik akan tertanam sampai mereka dewasa. Saat mereka beranjak remaja, mungkin mereka sudah bisa mengingatkan orang tua mereka tentang pentingnya pajak. Saat dewasa dan memiliki penghasilan, mereka akan menjadi wajib pajak yang sadar pajak dan dapat menjadi agen pajak di tengah-tengah masyarakat. Dapat dibayangkan bagaimana hasilnya jika kegiatan seperti ini dapat berlangsung  secara berkesinambungan di semua daerah di Indonesia.

Perlu disadari juga bahwa semua butuh proses. Seluruh pihak perlu dan berbenah. DJP berbenah untuk terus meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak. Menumbuhkan kenyamanan wajib pajak dalam menggali informasi terkait pajak. Wajib pajak juga berbenah untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan patuh. Bukan hanya patuh, namun dapat menularkan kepatuhannya kepada teman, kerabat, dan sanak saudara. Jika anak-anak bisa, maka kita pun pasti bisa. Belajar dari mereka, mari budayakan sadar pajak.(*)

Belajar dari Mereka, Mari Budayakan Sadar Pajak

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/belajar-dari-mereka-mari-budayakan-sadar-pajak

SH