Penerimaan pajak dari sektor konstruksi dan real estate tahun 2018 dinilai masih minim jika dibandingkan dengan kontribusinya untuk produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 13 persen.

Dalam catatan Kemenkeu, kontribusi pajak sektor tersebut hanya mencapai 6,9 persen atau 8,5 triliun dari total penerimaan pajak RI.

Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai bahwa penyebab minimnya pendapatan pajak dari dua sektor tersebut adalah pengenaan PPh final yang besarnya hanya 2 persen.

Karena itulah, kata dia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu meninjau ulang PPh final yang berlaku saat ini. “Jadi secara umum effective tax rate sektor ini masih lebih rendah dibanding sektor lain,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (15/2/2019).

Yustinus berpendapat, kontribusi penerimaan pajak dari sektor konstruksi sebenarnya bisa dinaikkan ke angka 5 persen dengan perkiraan profit marjin sebesar 20 persen.

“Memang perlu kajian, tapi dari profit margin mereka setidaknya dari 2 persen menjadi 4-5 persen cukup masuk akal,” tuturnya.

Sejak lama, Ditjen Pajak memang tengah mengkaji perubahan penghitungan pajak penghasilan (PPh) untuk sektor konstruksi dan real estate untuk mengerek pendapatan dari sektor tersebut. Salah satunya, dengan mengubah tarif final ke penghitungan berbasis pembukaan.

Sebab, dengan PPh final, kontraktor yang rugi bisa tetap terkena pajak sementara kontraktor besar akan diuntungkan lantaran laba yang diterima besar tetapi potongan PPh-nya kecil.

Namun, menurut Yustinus, skema final yang ada saat ini lebih efektif untuk dilakukan. Sebab, metode pembukuan di sektor jasa konstruksi agak rumit karena pembayaran termin akan terkait dengan pengakuan pendapatan dan biaya di depan.

“Sektor ini pembayarannya pakai termin. Jadi cukup spesifik di pengakuan pendapatan dan biaya. Bisa menimbulkan beda waktu,” ucapnya.

https://tirto.id/setoran-pajak-konstruksi-minim-djp-diminta-kaji-ulang-pph-final-dg6U

MSD