Sesi ketiga pada hari pertama Kongres XIII IAI di Balai Kartini Jakarta diisi dengan diskusi panel dengan tema “Contemporary Issues of SAK Full IFRS”. Hadir sebagai pembicara dalam sesi ini adalah Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan IAI (DSAK IAI) Djohan Pinnarwan, anggota Dewan Pengurus Nasional (DPN) IAI, Rosita Uli Sinaga, Direktur Keuangan PT Telkom Tbk., Harry M. Zen, dan Deputi Komisioner OJK Djustini Septiana. Diskusi ini dipandu oleh ketua tim implementasi SAK IAI, Budi Santoso.

Ketua DSAK IAI menyampaikan bahwa saat ini Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terdiri dari tiga pilar yaitu SAK berbasis IFRS, SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP), dan SAK Entitas Mikro Kecil dan Menengah (EMKM) yang saat ini masih dalam bentuk Exposure Draft. Tiga pilar tersebut ditambah dengan SAK Syariah untuk entitas-entitas yang mempunyai transaksi syariah. Lebih jauh, Ketua DSAK IAI menjelaskan bahwa proses konvergensi SAK saat ini sudah meminimalisir gap sehingga SAK per 1 Januari 2018 telah secara substansial konvergen dengan IFRS per 1 Januari 2017 yang artinya hanya tertinggal 1 tahun di belakang.

Saat ini DSAK IAI sedang mempertimbangkan opsi agar emiten dapat mengadopsi IFRS secara penuh dengan menerbitkan SAK Internasional, yaitu SAK yang mengadopsi IFRS secara penuh dan tanpa ketertinggalan waktu. Tentu saja hal ini dengan konsekuensi bahwa DSAK IAI harus lebih cepat dan mengikuti lebih awal setiap perkembangan dan perubahan standar yang ada dalam IFRS. Opsi ini dipilih sebagai jembatan karena dirasa perusahaan-perusahaan di Indonesia belum siap untuk secara “big bang” mengadopsi IFRS secara penuh.

Anggota DPN IAI, Rosita Uli Sinaga menambahkan bahwa dengan adanya opsi tersebut akan lebih menguntungkan terutama bagi emitan yang dual listing karena akan menghemat biaya sehingga perusahaan tidak perlu mempunyai dua buku dan mungkin dua sistem. Hal itu dikonfirmasi Direktur Keuangan PT Telkom yang berbagi pengalaman sebagai emiten yang dual listing di Bursa Efek Indonesia dan di New York Stock Exchange. Ditambahkan pula bahwa proses untuk mengadopsi secara penuh IFRS membutuhkan waktu yang panjang dan sehingga persiapannya harus direncanakan jauh-jauh hari sehingga memerlukan komitmen yang kuat dari perusahaan.

Deputi Komisioner OJK sangat mendukung inisiatif IAI. Namun diingatkan bahwa kemungkinan adopsi IFRS secara penuh oleh seluruh emiten yang ada di bursa akan terkendala beberapa hambatan. Pertama, emiten di bursa sangat bervariasi besar dan kemampuan akuntansinya. Dari penelitian yang dilakukan OJK mengenai kesiapan emiten untuk mengadopsi secara penuh IFRS, OJK berkesimpulan bahwa emiten dan perusahaan publik yang berpotensi siap untuk mengadopsi secara penuh IFRS adalah perusahaan yang dual listing atau perusahaan yang merupakan anak perusahaan asing yang induknya telah menyusun laporan keuangannya berdasarkan IFRS. Kedua, standar akuntansi di Indonesia belum memiliki kekuatan hukum yang cukup sehingga diperlukan aturan-aturan khusus dari OJK agar standar akuntansi tersebut mempunyai kekuatan hukum. Hal ini juga digarisbawahi oleh Rosita bahwa seperti negara-negara lain di Indonesia diperlukan Undang Undang Pelaporan Keuangan yang sedang diperjuangkan oleh IAI ke legislatif.

-HK-