Salah satu sesi menarik di hari pertama Kongress XIII IAI di Balai Kartini adalah bagaimana cara menilai perusahaan startups atau yang juga dikenal dengan unicorns. Direktur Mandiri Capital, Eddy Danusaputra berbagi ilmu dan pengalamannya.

Menurut Eddy, penilaian perusahaan startups berbeda dengan penilaian perusahaan konvensional yang umumnya menggunakan revenue-based atau cash flow-based approach. Hal ini dikarenakan perusahaan ini mempunyai karakteristik unik yang berbeda dengan perusahaan konvensional.

Pertama, perusahaan startups umumnya tidak mempunyai aset yang signifikan karena merupakan bisnis digital. Konsekuensinya, berinvestasi di perusahaan ini berisiko tinggi karena tidak ada kolateral atau jaminan. Kedua, bisnis modelnya juga tidak dikembangkan dari fungsi permintaan, namun berkembang dari problem solving dengan menawarkan solusi atas masalah yang dihadapi sehari-hari. Ketiga, secara akuntansi, umumnya perusahaan-perusahaan ini pun belum menguntungkan. Karakteristik unik inilah yang membuat valuasi pendekatan konvensional seperti Discounted Cash Flows (DCF) tidak bisa digunakan. Karena itu kombinasi beberapa pendekatan penilaian digunakan sekaligus. Metode valuasi yang digunakan misalnya Gross Merchandise Value (GMS) method, Berkus, Risk Factor Summation method, Book Value method, Liquidaton Value method, dan lain-lain. Yang umum digunakan adalah GMS dikombinasikan dengan beberapa metode yang lain. Walaupun kombinasi pendekatan ini tidak sempurna namun masih merupakan pilihan terbaik yang ada.

Penentuan waktu untuk masuk (entry) dan keluar (exit) dalam investasi perusahaan startups juga tidak mudah. Jika terlalu dini, atau pada saat masih dalam tahap prototype, risiko masih terlalu tinggi untuk venture capital. Investor yang berani berinvestasi di tahap ini disebut angel investor. Namun jika terlalu lama, atau pada tahap bertumbuh, harganya sudah terlalu mahal. Pada tahap inilah traditional investor berperan. Sesaat sebelum launch adalah saat yang tepat bagi venture capital untuk berinvestasi. Untuk strategi exit-nya, dapat digunakan dua cara yaitu melalui IPO atau strategic exit.

Lebih lanjut, Eddy menjelaskan bahwa berinvestasi pada bisnis startups mempunyai risiko yang tinggi. Rata-rata hanya 10% dari investasi di bisnis startups yang berhasil. Beberapa kriteria yang bisa dilihat untuk melihat perusahaan startups yang berpotensi adalah dengan melihat kuat atau tidaknya tim pendiri, bagaimana potensi pasarnya, bagaimana konsep bisnis yang diusung, dan bagaimana kompetitor yang ada di pasar.

Yang tidak bisa diabaikan bahwa bagian terpenting setelah berinvestasi bagaimana aktivitas penciptaan nilai perusahaan startups dilakukan.

-HK-