Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Jakarta Barat  pada bulan November mengadakan perlombaan pembuatan artikel mahasiswa dalam rangka Pekan Pajak Bertutur. Pada kesempatan ini mahasiswa Accounting Rumpun Perpajakan Binus University yaitu Alverdo NIM 1901471654 mendapatkan juara pertama  dalam penulisan artikel yang berjudul  “Melawan Phobia Pajak dengan Menanamkan Sikap Nasionalisme Demi Menjaga Sustainabilitas Pembangunan Bangsa”.

Penghargaan diberikan pada tanggal 9 November 2018 PX Pavilion Ballroom, Jakarta Barat.

Berikut ini merupakan artikel yang ditulis oleh Alverdo sehingga dapat menjuarai kegiatan tersebut.

“Melawan Phobia Pajak dengan Menanamkan Sikap Nasionalisme Demi Menjaga Sustainabilitas Pembangunan Bangsa”

Bangsa Indonesia dikenal sebagai salah satu bangsa yang nasionalis. Hal ini dapat dibuktikan dari kecintaan masyarakat indonesia kepada ibu pertiwi. Pesta Asian Games beberapa waktu yang lalu misalnya, dapat dilihat betapa besar antusiasme masyarakat indonesia mendukung para atlet kebanggaan mereka saat berjuang membawa sang merah putih ke podium tertinggi di pesta olahraga terbesar se- asia tersebut. Waktu, uang, dan tenaga pun dikorbankan untuk mendukung para pahlawan bangsa demi mengharumkan nama Indonesia. Saat semua warga negara Indonesia dari ujung barat sampai ke timur meneriakkan “NKRI Harga Mati!”, tidak peduli dari suku, ras, etnis, atau agama apapun terasa sangat membakar jiwa patriotis bagi siapapun yang mendengarnya. Sayang seribu sayang, jiwa patriotis dan wujud cinta tanah air masyarakat Indonesia tidak diikuti oleh beberapa hal ini, misalnya minimnya partisipasi masyarakat dalam memberikan hak suaranya saat pemilu. Entah apa yang dipikirkan oleh sebagian golongan masyarakat Indonesia tersebut disaat mereka mempunyai kesempatan untuk memilih pemimpin yang akan berkuasa 5 tahun ke depan atas negeri ini. Diluar semuanya itu, ada salah satu wujud cinta akan tanah air yang justru sangat dilupakan dan kadang sering dianggap sebelah mata dan tidak diperhitungkan oleh sebagian masyarakat Indonesia, yakni kewajiban dalam membayar pajak.

Seperti yang kita ketahui, menurut UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat (1) tertulis dengan jelas bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata wajib dan memaksa semakin menekankan bahwa pajak merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap wajib pajak. Akan tetapi, pernyataan tersebut diatas seakan-akan tidak membuat wajib pajak untuk bersikap taat melaksanakan kewajiban mereka dalam membayar pajak. Pajak seolah-olah menjadi sesuatu hal yang menyeramkan bagi sebagian masyarakat kita. Entah apa yang dipikirkan oleh sebagian masyarakat Indonesia setiap kali mendengar atau menghadapi pajak, seakan-akan pajak menjadi sebuah ketakutan atau phobia bagi sebagian masyarakat Indonesia yang harus dihindari. Berbagai cara dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia untuk berusaha menghindari pengenaan pajak atas penghasilan atau harta yang dimilikinya, diantaranya mulai dari kegiatan transfer pricing hingga tax havens. Dengan transfer pricing, praktik penghindaran pajak dapat dilakukan dengan cara melakukan transfer laba dari dalam negeri kepada perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yang berada di negara lain yang tarif pajak nya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan metode thin capitalization (dengan memperbesar utang atau pinjaman dengan mengenakan beban bunga untuk dapat mengurangi laba). Dan yang tidak kalah menarik yakni praktik tax havens. Tax havens berasal dari kata tax heavens yang berarti surga pajak atau lebih tepatnya suaka pajak, yaitu suatu kondisi dimana suatu wilayah negara memberikan tarif pajak yang rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali, sehingga memungkinkan wajib pajak suatu negara untuk membawa dan menyimpan kekayaan mereka di negara yang dikategorikan sebagai negara tax havens.

Meskipun beberapa praktik diatas mungkin telah dilakukan oleh beberapa masyarakat indonesia dalam usahanya untuk menghindari pajak, namun tetap saja hal tersebut tidak akan pernah bisa membuat kita benar-benar lepas dan terhindar dari pajak. Mengutip pernyataan yang dilontarkan oleh Benjamin Franklin dalam suratnya kepada Jean Baptiste Le Roy pada tahun 1789 yakni “In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes”. Pada dasarnya, kepastian hukum kematian seorang manusia hanya akan dapat disamakan dengan tingkat kepastian hukum pajak, yakni kewajiban yang tidak mungkin dapat dihindari oleh setiap wajib pajak. Pajak bukanlah sesuatu hal yang menyeramkan sehingga membuat kita menjadi takut dan harus dihindari sebisa mungkin. Sebagai warga negara yang baik, adalah kewajiban kita untuk melaksanakan kewajiban membayar pajak untuk membiayai pembangunan suatu bangsa atau negara. Di Indonesia, penerimaan pajak masih menjadi sektor andalan pemerintah sebagai sumber pendapatan negara. Kurangnya kesadaran dari masyarakat dan kurangnya peran pemerintah memberikan sosialisasi mengenai kesadaran pajak kepada masyarakat menjadi faktor yang menyebabkan kurangnya kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan kewajibannya membayar pajak.

Disamping itu, faktor lain yang cukup mempengaruhi kurangnya kepatuhan dan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak adalah banyaknya kasus yang berkaitan dengan penggelapan pajak yang dilakukan oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini tentu akan berpengaruh kepada mindset masyarakat tentang pajak. Bagaimana tidak, masyarakat pasti akan berbkata “Untuk apa kita membayar pajak, jika pada akhirnya pajak tersebut dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan mereka sendiri!”. Tentunya, ini akan kembali menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua bagaimana cara untuk menangkal semuanya itu. Jika tidak bisa menjadi seorang atlet untuk mennjukkan rasa cinta kita kepada bangsa ini, cukup dengan melaksanakan kewajiban kita dalam membayar pajak sudah menunjukkan bahwa kita cinta dan peduli dengan negeri ini. Tentu tidaklah seberat perjuangan atlet yang harus berjuang bercucuran keringat untuk dapat mengharumkan bangsa ini, hanya dengan membayar pajak kita sudah serupa seperti seorang atlet yang memenangkan sebuah pertandingan dan bangga atas pencapaian yang telah dilakukannya semata-mata semuanya demi sang merah putih berkibar dengan gagahnya diantara yang lain. Dengan membayar pajak berarti kita sudah berkontribusi untuk memajukan pembangunan negeri ini. Tidak perlu lagi menjadi seorang pahlawan yang berperang mati-matian di medan pertempuran, cukup dengan membayar pajak kita sudah dapat dikatakan menjadi pahlawan bangsa di zaman now ini. (A)

-LDP