Laporan keuangan membuka akses entitas ke pendanaan, aspek perpajakan, hingga kepercayaan eksternal. Bayangkan jika laporan itu dibuat secara tidak bertanggungjawab.

Seorang pejabat publik pernah dibuat terheran-heran ketika membaca ratusan laporan audit yang masuk ke mejanya. Sekilas laporan itu terkesan wajar. Namun ada lebih dari seratus laporan audit yang ditanda-tangani oleh satu KAP yang sama dalam waktu hampir bersamaan. Bukan oleh KAP sekelas “big four” yang memiliki partner puluhan orang, tapi oleh KAP kecil dengan jumlah partner tidak lebih dari dua.

Yang lebih membuat heran, semuanya mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian alias WTP. Bagaimana mungkin dalam waktu hanya sekitar dua pekan, sebuah KAP bisa memeriksa lebih dari seratus klien, dan semuanya selesai tepat waktu.

Cerita lainnya, di salah satu pusat bisnis di Jakarta Pusat, sebuah kantor berani menawarkan stempel auditor berizin bagi siapapun yang membutuhkan laporan dengan opini WTP. Tinggal bawa laporan keuangan yang sudah disusun sedemikian rupa, mereka akan pulang membawa laporan beropini WTP tanpa melewati proses apapun.

Tidak ada aroma ketakutan akan pemeriksaan, baik dari regulator maupun profesi yang membawahinya. “Biasanya yang diperiksa adalah KAP-KAP besar. Kalau kami tidak mungkin diperiksa,” kilah sang pelaku.

Di tengah iklim serba transparan, ternyata praktik-praktik seperti itu masih marak terjadi. Banyak dugaan miring sejumlah akuntan publik (AP) memberikan opini tanpa adanya pemeriksaan. Sehingga muncul plesetan dari WTP adalah Wajar Tanpa Pemeriksaan. Di kasus lain pun, masih ada AP yang membubuhkan tanda tangan di laporan audit tapi justru tak punya kertas kerja.

“Iya, masih ada AP-AP yang menyimpang. Tapi kan IAPI sendiri fokusnya ke pembinaan,” kilah Ketua Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Tarko Sunaryo belum lama ini. “Kita semua serahkan ke regulator untuk pengawasannya,” ujarnya. IAPI sendiri hanya bisa melakukan sanksi dari aspek keanggotaan. Regulator dalam hal ini adalah Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK) Kementerian Keuangan – dulu Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP)

Audit Abal-Abal

Banyak akuntan publik berdalih, banyaknya praktik moral hazard di industri akuntan publik terjadi karena ditunjang kebutuhan pasar yang masih besar. Banyak user yang masih membutuhkan kualitas audit seadanya alias abal-abal. Salah satu yang gampang dilihat adalah kualitas audit untuk kegiatan tender. Sementara di sisi lain, aspek pengawasan yang lemah membuka celah makin maraknya praktik tidak terpuji itu.

Menurut Tarko, untuk menyelenggarakan audit dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara nilai tender bagi entitas itu seringkali tidak seberapa. Akhirnya muncul jalan pintas dengan membeli tanda tangan auditor saja. “Sayangnya masih banyak masyarakat yang belum aware sehingga praktik itu dapat tumbuh subur,” tuding Tarko. “Padahal kalau nanti ada apa-apa, auditor juga yang disalahkan,” keluhnya.

Dalam konteks yang sama, akuntan publik senior Ahmadi Hadibroto memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, munculnya audit abal-abal justru banyak disebabkan oleh akuntan publik palsu yang berkeliaran di masyarakat. Akuntan publik palsu ini tidak mengantongi izin dan bukan anggota IAPI. Cuma ironisnya, mereka bisa berpraktik, bahkan menggondol stempel resmi salah satu KAP. “Bahkan di pasar Glodok, ada satu kios yang menjual stempel dari KAP-KAP yang seolah-olah resmi,” ujar Board Member IFAC itu.

Terhadap kondisi tersebut, katanya, IAPI tidak bisa berbuat banyak. Termasuk tidak bisa melaporkan ke aparat penegak hukum. “Karena IAPI bukan pihak yang dirugikan. Hanya KAP yang berhak melapor ke Polisi. Itu pun kalau mereka tahu,” terang Direktur Eksekutif IAPI ini. “Memang secara asosiasi, tugas kami melindungi anggota,” katanya.

Meski begitu, ia sendiri mengakui untuk auditor yang berizin pun masih ada yang berbuat nakal. Tapi pihaknya tetap menyerahkan ke regulator. Tak hanya P2PK, tapi juga OJK, BI, dan lainnya. “Kalau praktik kotor ini masih terjadi, ada indikasi fungsi pengawasan dari regulator tidak maksimal,” tukas dia. “Padahal, kalau masih ada seperti itu (kasus auditor nakal) P2PK mesti on the spot langsung beri sanksi, cabut izinnya. Pemerintah harus tegas,” kritik mantan Ketua DPN IAI ini.

Kenyataan itu juga diiyakan oleh KAP-KAP menengah kecil. Salah satunya KAP Bernardi & Rekan. Menurut Michelle Bernardi, Managing Partner KAP tersebut, karena pasar audit yang tidak merata, menyebabkan KAP kecil banyak menerima order jual tanda tangan. “Akibatnya muncul audit siluman. Banyak KAP kecil yang bermain di segmen itu. Hanya untuk tender, tinggal tanda tangan,” tegasnya.

Tetap Ada Penyimpangan

Sampai kapan pun, penyimpangan auditor akan tetap ada. Negara dengan penerapan governance dan transparansi semaju Amerika Serikat (AS) dan Inggris pun masih mencatatkan adanya kasus fraud audit. “Baru-baru ini di AS bahkan ada kasus pelanggaran etika audit berupa opini laporan keuangan tanpa melalui pemeriksaan,” auditor senior, Agung Nugroho Sudibyo menggambarkan.

Menurut Anggota Komite Organisasi dan Hubungan Kelembagaan IAPI ini, banyak hal yang menyebabkan fraud ini terjadi. Mulai dari moral hazard sang auditor, permintaan auditee, lemahnya pengawasan, keterbatasan standar audit, hingga adanya mekanisme yang tidak sehat dalam pembagian kue bisnis di jasa akuntan publik.

Bagi Agung, kasus-kasus auditor yang telah terjadi harus menjadi pelajaran penting. Karena itu ia mengharapkan etika profesi diterapkan dengan sungguh-sungguh. “Etika profesi terdiri dari lima aspek penting, yaitu integritas, objektivitas, independensi, profesionalitas, dan kompetensi. Semua hal itu tidak bisa hanya diucapkan lewat kata-kata, tapi dibuktikan dan dijalankan,” tandasnya.

(Tulisan ini telah terbit di Majalah Akuntan Indonesia Edisi Agustus-September 2015)

Dilansir dari official website Ikatan Akuntan Indonesia