Insentif pajak kepada penyumbang umumnya diberikan dalam bentuk pengurangan pajak. Kebijakan ini mengacu pada pemberian fasilitas berupa pengurangan pajak yang diberikan kepada donatur yang memberikan sumbangan kepada organisasi atau lembaga yang memenuhi syarat dan ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan ini dikeluarkan sebagai salah satu bentuk apresiasi pemerintah terhadap para donatur, baik yang berasal dari perorangan dan swasta, yang telah membantu pemerintah menyediakan layanan publik dan mengatasi persoalan sosial lewat sumbangan yang diberikannya. Selain itu, kebijakan ini dikeluarkan dalam rangka mendorong agar donatur menyumbang lebih banyak lagi sehingga tersedia dana alternatif di luar dana yang disediakan oleh pemerintah melalui skema perpajakan.

Thomas Silk[1] menyatakan bahwa kebijakan pengurangan pajak ini biasanya dikaitkan dengan konsep efisiensi kebendaharaan (treasury efficiency). Pemerintah di berbagai negara menganggap kebijakan pengurangan pajak yang bersifat amal ini lebih efisien daripada subsidi langsung, jika ia dapat merangsang mengalirnya dana-dana swasta bagi keuntungan publik yang tidak akan ada jika tidak ada pengurangan pajak. Ini merupakan bagian dari konsep kerja sama antara pemerintah dan sektor karitas menyangkut pengurangan pajak atas sumbangan yang bersifat derma.

Kebijakan pemberian pengurangan pajak ini umumnya dilakukan lewat dua skema:

Pertama, donasi atau sumbangan yang diberikan oleh penyumbang perorangan atau perusahaan bisa digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Skema ini disebut sebagai tax deduction dan diberlakukan di banyak negara. Dalam skema ini, seorang yang memiliki penghasilan bersih sebesar Rp 100 juta, misalnya, kemudian mendonasikan 10 juta dari penghasilan tersebut kepada organisasi nirlaba, maka penghasilan bersih yang dimilikinya berkurang menjadi Rp 90 juta. Jika tarif pajak yang dikenakan pada orang tersebut sebesar 30%, maka pajak penghasilan terutang yang harus dibayarnya menjadi Rp 27 juta, dan bukan lagi Rp 30 juta.

Kedua, donasi atau sumbangan yang diberikan oleh penyumbang perorangan atau perusahaan bisa menjadi pengurang pajak terutang. Skema insentif pajak ini dikenal sebagai tax credit dan diberlakukan di beberapa negara, seperti Australia, Amerika, dan negara-negara lain. Dalam skema ini, seorang yang punya penghasilan bersih sebesar Rp 100 juta, misalnya, kemudian mendonasikan Rp 10 juta dari penghasilan tersebut kepada organisasi nirlaba, maka jumlah donasi yang diberikannya bisa menjadi pengurang dari jumlah pajak terutangnya. Bila pajak terutangnya sebesar Rp 30 juta (hasil perkalian Rp 100 juta dengan tarif pajak sebesar 30%), maka pajak terutang yang harus dibayarkannya adalah Rp 20 juta (Rp 30 juta-Rp 10 juta). Dalam skema ini, donasi menjadi pengurang pajak yang lebih signifikan dibandingkan skema tax deduction.

Untuk lebih jelasnya, bagan di bawah ini bisa dijadikan contoh perhitungan:

gambar 36

Selain kedua skema tersebut, ada skema lain yang juga digunakan di beberapa negara, yakni tax designation, dan lain-lain. Sayangnya, skema ini tidak dikenal di negara yang dikaji dalam penelitian ini.

Pemberian insentif pengurangan pajak umumnya diberikan kepada penyumbang perorangan dan perusahaan atau lembaga. Meski demikian, secara umum sistem pengurangan pajak lebih mengacu pada kepentingan donor individual. Sebagian besar kebijakan insentif perpajakan memberikan pengurangan pajak yang lebih besar kepada donatur individu dibandingkan perusahaan. Kebijakan ini lebih didasarkan pada pemikiran bahwa kedermawanan perorangan lebih utama untuk dikembangkan karena motifnya lebih murni jika dibandingkan dengan kedermawanan perusahaan: Karena itu, kegiatan kedermawanan dari individu masyarakat dirasakan perlu untuk didorong dan dikembangkan melalui skema ini. Selain itu, pemberian insentif yang lebih besar kepada donatur individual ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk ketidakpedulian dan ketidakacuhan anggota masyarakat terhadap persoalan yang terjadi di sekitamya.

 

Batas-batas Pengurangan Pajak

Masing-masing negara memiliki kebijakan yang berbeda dalam menentukan batasan maksimal atau besaran jumlah donasi yang dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Secara umum ada tiga pola yang digunakan dalam menentukan batasan atau besaran pengurangan pajak tersebut, yakni pengurangan pajak terbatas (limited deductibility), pengurangan pajak penuh (full deductibility), dan pengurangan pajak melebihi sumbangan yang diberikan.

a. Pengurangan Pajak Terbatas (Limited Deductibility)

Secara umum negara yang dikaji menerapkan kebijakan pengurangan pajak secara terbatas (limited deductibility). Artinya, negara memberi batasan terhadap jumlah donasi yang berasal dari penghasilan yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Batasan maksimal dari sumbangan yang dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak umumnya ditentukan berdasarkan persentase penghasilannya. Dalam kasus ini, negara hanya membatasi jumlah insentif yang diberikan, bukan pada jumlah sumbangan yang dapat diberikannya. Negara tidak membatasi berapapun jumlah donasi yang akan diberikan oleh seorang donatur, namun negara hanya akan memberikan insentif sesuai dengan jumlah dan batasan maksimal yang ditentukan. Kebijakan ini dimaksudkan agar para orang kaya atau pengusaha tidak menyalurkan hasrat dan prioritasnya dalam menggunakan kekayaan secara serampangan dan hanya dalam rangka menghindari pajak. Dengan demikian, misalokasi dan penyelundupan pajak bisa diminimalisir.

Sebagai ilustrasi, sebuah negara menetapkan bahwa donasi yang yang diperkenankan untuk mendapatkan pengurangan pajak untuk donatur perorangan adalah maksimum 20% dari penghasilan kena pajak. Apabila seorang calon donatur memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp 10 juta dan dia berniat menyumbangkan Rp 5 juta atau 50% dari penghasilan tersebut, maka jumlah donasi yang diakui bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajaknya hanya Rp 2 juta (20%). Namun, jika dia memberikan donasi sebesar Rp 1 juta, maka seluruh jumlah donasinya itu bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak karena tidak melebih batas maksimal 20% dari jumlah penghasilan kena pajaknya.

Kebijakan limited deductibility ini diberlakukan di Korea, Afrika, dan Filipina. Di Korea, misalnya, negara memberikan insentif pengurangan pajak maksimal hanya 5% dari penghasilan bruto untuk perorangan dan maksimum 7% dari penghasilan bruto dikurangi kompensasi kerugian tahun sebelumnya dan pengurangan-pengurangan lain yang diperkenankan sebagaimana diatur dalam UU. Untuk perusahaan ditambah 2 persen dari modal. Namun batas prosentase ini masih dibatasi lagi dengan batas maksimum sebesar 5 miliar won. Sementara batas maksimal pengurangan pajak yang berlaku di Filipina adalah 10% untuk individu dan 5% untuk perusahaan. Sedangkan Afrika selatan memberlakukan batas maksimal pengurangan pajak yang sama untuk perorangan dan perusahaan, yakni 5%.

b. Pengurangan Pajak secara Penuh (Full Deductibility)

Di antara negara-negara yang dikaji, ada beberapa yang tidak menentukan batas maksimal dari besarnya jumlah sumbangan yang bisa diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Negara bahkan mengakui seluruh derma yang diberikan sebagai biaya yang bisa diperhitungkan untuk mengurangi pajak penghasilan. Kebijakan ini disebut sebagai pengurangan pajak penuh (full deductibility). Di beberapa negara, kebijakan ini diterapkan dengan memberikan pengurangan pajak kepada donatur dalam jumlah yang besar (misal, 50% bahkan sampai 100%). Dalam kasus ini, dasar perhitungan yang menjadi acuan adalah jumlah donasi yang diberikan penyumbang, bukan jumlah penghasilan yang dimilikinya.

Kebijakan ini dilakukan secara ketat dan hanya diberikan pada sumbangan yang dialokasikan untuk bidang-bidang atau organisasi yang dianggap penting oleh negara. Kebijakan ini ditempuh karena negara memrioritaskan satu bidang tertentu, misalnya penelitian, dan berharap masyarakat ikut berpartipasi memajukan bidang tersebut. Dalam kasus yang lain, negara juga melihat bahwa dana yang dimilikinya untuk membiayai suatu bidang tertentu yang dianggap penting tersebut sangat minim, sementara minat masyarakat umum untuk mendukung bidang tersebut juga kurang. Karena itu, diciptakanlah skema pengurangan pajak yang besar yang berfungsi mendorong masyarakat untuk membantu membiayai bidang tersebut.

Sebagai ilustrasi sebuah negara menetapkan bahwa donasi yang diperkenankan untuk mendapatkan pengurangan pajak untuk donatur sebesar 50%. Apabila seorang calon donatur memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp 100 juta dan dia berniat menyumbangkan Rp 30 juta dari penghasilan tersebut, maka jumlah donasi yang diakui bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajaknya Rp 15 juta, yakni separuh (50%) dari nilai total donasi. Namun, bila negara menerapkan kebijakan pengurangan pajak sampai 100%, maka jumlah sumbangan yang bisa diperhitungkan untuk mengurangi pajak penghasilan adalah Rp 30 juta. Artinya, seluruh sumbangan yang diberikannya dimungkinkan untuk diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

Kebijakan pengurangan pajak secara penuh irti diberlakukan di India, Australia, Filipina dan Singapura. Di India, misalnya, seorang donatur berhak mendapatkan pengurangan pajak 50% hingga 100% berdasarkan Bab 80-G, Income Tax Act Pengurangan 50% dari penghasilan kena pajak berlaku jika donasi diberikan kepada organisasi yang memiliki Sertifikat 80G(5). Sedangkan menurut UU ini, pengurangan lebih banyak sebesar 100% akan diberikan bagi donasi kepada aktivitas-aktivitas pemerintah yang memiliki prioritas tinggi, seperti keluarga berencana, angkatan bersenjata, dan bantuan bencana. Aplikasi dibuat dalam formulir yang ditentukan, dengan melampirkan foto kopi sertifikat registrasi dan memorandum trust dan hukum asosiasi.

Di Filipina, para penyumbang individu dan perusahaan akan memperoleh pengurangan pajak setara 100% dari penghasilan mereka jika (1) organisasi nirlaba yang disumbang adalah organisasi amal yang mendistribusikan semua penghasilannya untuk maksud-maksud pengecualian pajak dalam 2,5 bulan setelah berakhirnya tahun pajak bersangkutan, (2) organisasi nirlaba yang disumbang membatasi biaya operasionalnya sampai 30% atau kurang dari total pengeluaran.[2]

c. Pengurangan Pajak Melebihi Sumbangan yang Diberikan

Beberapa negara yang dikaji memberikan pengurangan pajak yang melebihi jumlah sumbangan yang diberikan oleh calon donatur. Selain memberikan pengurangan secara penuh dengan mengakui seluruh jumlah sumbangan yang diberikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, negara juga memberikan sejumlah dana yang dianggap sebagai tambahan pengurang pajak yang telah ditentukan. Misalnya, beberapa negara memberikan pengurangan pajak sampai 125%. Ini berarti pemerintah justru ikut memberikan kontribusi, atau subsidi meskipun tidak berupa uang tunai, untuk kegiatan tersebut. Seperti halnya kebijakan full deductibility, dasar perhitungan yang menjadi acuan dalam kebijakan adalah jumlah donasi yang diberikan penyumbang, bukan jumlah penghasilan yang dimilikinya. Kebijakan ini juga dirancang untuk mendorong mengalirnya sumbangan ke bidang-bidang tertentu yang dianggap penting dan genting oleh pemerintah.

Sebagai ilustrasi, sebuah negara menetapkan bahwa donasi yang diperkenankan untuk mendapatkan pengurangan pajak untuk donatur adalah 125%. Apabila seorang calon donatur memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp 500 juta dan dia berniat menyumbangkan Rp 100 juta dari penghasilan tersebut. Dengan kebijakan ini, negara mengakui seluruh derma yang diberikan sebagai biaya yang bisa diperhitungkan untuk mengurangi penghasilan kena pajak. Selain itu, negara juga memberikan tambahan sebesar 25% (Rp 25 juta) sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Dengan demikian, jumlah donasi yang diakui bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak mencapai Rp 125 juta.

Dalam kajian ini, dua negara yang memberlakukan kebijakan tersebut adalah India dan Australia. Di India, misalnya, seorang donatur akan mendapatkan pengurangan pajak sebesar 125% jika memberikan kontribusi kepada suatu organisasi yang terlibat dalam “penelitian ilmiah” [Bab 35(1) (ii) atau “penelitian bidang ilmu pengetahuan sosial atau statistik” [Bab 35(1) (iii)]. Aplikasi pengajuan disampaikan kepada general direktur pengecualian pajak penghasilan dalam rangkap tiga.[3]

[1] Thomas Silk (Ed), 1999, Philanthropy and Law in Asia

[2] Carol C. Lerma dan Jessica Los Banos, “Philippines” dalam Thomas Silk (Ed), 1999, Philanthropy and Lara in Asia

[3] Sanjay Agarwal dart Noshir Dadrawala, “Philanthropy and Law in India”, dalam Mark Sidel dart Iftekhar Zaman, 2004, Philanthropy and Law in South Asia

Disarikan dari buku: Kebijakan Insentif Perpajakan untuk Organisasi Nirlaba, Penulis: Hamid Abidin, Yuni Kusumastuti, Zaim Saidi, Hal: 34-41.

Sumber: http://keuanganlsm.com/