Oleh: Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Manusia, dalam perspektif psikologi terdiri badan dan jiwa. Badan dan jiwa merupakan satu kesatuan, namun mempunyai unsur yang berbeda. Pepatah “Dalam laut bisa ditebak, dalam hati siapa yang tahu” bisa menggambarkan betapa sulitnya memahami apa yang ada dalam jiwa seseorang. Mempelajari jiwa berarti mempelajari manusia itu sendiri.

Karena sulitnya memahami jiwa, maka kesehatan badan seringkali dianggap lebih penting daripada kesehatan jiwa. Beberapa kebijakan yang dibuat, ukuran yang dibuat lebih mengutamakan unsur yang nampak pada manusia, bukan unsur yang tidak nampak. Kebijakan tersebut sangat jarang mengambil landasan kesehatan jiwa manusia sebagai dasar pengambilan keputusan. Padahal masalah kesehatan jiwa saat ini sudah menjadi hal yang penting untuk dibicarakan.

Menurut data WHO (2016) atas jumlah penduduk dunia saat itu, terdapat kurang lebih 35 juta orang yang depresi, 60 juta orang yang terkena bipolar, 21 juta orang yang terkena skizoprenia serta 47,5 juta orang yang mengalami demensia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai 6 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau kurang lebih jumlahnya 14 juta orang.

Depresi didefinisikan sebagai gangguan jiwa pada seseorang yang ditandai dengan perasaan yang merosot seperti muram, sedih, perasaan tertekan. Walaupun depresi merupakan hal yang pernah dialami oleh semua orang, namun bila tidak dicegah, depresi dapat menyebabkan hal yang lebih buruk. Stres yang berkepanjangan menyebabkan kondisi kesehatan badan dan mental seseorang menjadi memburuk. Berbagai penyakit seperti jantung, diabetes, menurunnya kekebalan tubuh bisa bermula dari depresi. Hal ini akan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan dan asuransi. Kurangnya kebahagiaan bagi suatu negeri akan menciptakan SDM yang lemah dan pengeluaran yang lebih banyak.

Menciptakan sarana kebahagiaan bagi warga adalah hal yang penting dilakukan bagi suatu negara. Karena setiap negara pasti bertujuan untuk mensejahterakan warga negaranya. Bukan hanya secara fisik, namun juga jiwa mereka. Pajak, misalnya, sebagai kewajiban bagi warga negara, harus diimbangi dengan timbal balik berupa kebijakan yang memberi ruang kebahagiaan bagi mereka.

Kebahagiaan, Pajak dan Timbal Balik

PBB telah merilis World Happiness Report 2017 yang berisi daftar tingkat kebahagiaan penduduk di suatu negara berdasarkan survei. Lima negara yang berada pada urutan teratas dalam hal kebahagiaan warganya adalah Norwegia, Denmark, Islandia, Swiss dan Finlandia. Indonesia sendiri berada pada urutan ke-96, cukup jauh dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Singapura (34), Malaysia (35), Thailand (46), dan Filipina (71). Survei tersebut didasarkan pada berbagai aspek yakni aspek ekonomi (PDB per kapita), dukungan sosial, tingkat harapan hidup, kebebasan memilih, kemurahan hati, dan juga persepsi akan korupsi.

Survei tersebut bisa jadi tidak mengukur secara sempurna tingkat kebahagiaan penduduk di suatu negara, namun bisa menjadi acuan bagi kita dalam beberapa hal. Hal yang menarik dalam rilis tersebut, Norwegia ternyata mempunyai tarif pajak yang tinggi (untuk penghasilan pajak perorangan bisa mencapai 30 sampai 60 persen, bahkan lebih), namun penduduknya bisa merasakan kebahagiaan. Hal ini karena penduduknya mendapatkan banyak sekali kemudahan dan timbal balik. Misalnya saja berbagai tunjangan seperti tunjangan kesehatan, tunjangan pendidikan, tunjangan anak, tunjangan lansia, bahkan tunjangan kehamilan dan melahirkan. Belum lagi fasilitas publik dan infrastruktur yang memberikan kenyamanan bagi mereka. Penduduk Norwegia bisa jadi tidak keberatan dengan tarif pajak yang tinggi, karena mereka merasakan dampak dari pembayaran pajak mereka.

Norwegia adalah salah satu negara yang menganut sistem welfare state. Negara dengan sistem ini selalu mengarahkan kebijakannya pada kebahagiaan warganya. Walaupun negara memungut pajak yang tinggi, namun warga negaranya merasakan manfaat yang disediakan oleh negara. Ada perasaan bahwa apa yang mereka berikan kepada negara bermanfaat bagi mereka sendiri. Di situ kebahagiaan timbul dari diri mereka.

Reformasi Pajak, Reformasi Kebahagiaan

Abdurrahman Wahid , Gus Dur, pernah berkata, “Ada yang lebih penting dari politik, ialah memanusiakan manusia.” Reformasi Pajak di Indonesia tentunya tidak terlepas dari kebijakan yang memerlukan dukungan bersama, termasuk dukungan politik, tapi di balik semua itu ada hal yang sangat penting. Kita harus kembali memanusiakan manusia Indonesia melalui pajak.

10 Oktober telah diperingati sebagai hari Kesehatan Jiwa. Reformasi pajak harus mampu memberikan ruang bukan hanya kesehatan badan namun juga kesehatan jiwa bagi para pembayar pajak. Hal ini adalah dengan memanfaatkan hasil pajak sebaik-baiknya untuk kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.

Pajak memang sesuai ketentuan perundang-undangan didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang bersifat memaksa. Namun, keberkahan akan selalu timbul, bila seluruh warga negara Indonesia bisa merasakan kebahagiaan maksimal dengan adanya pembayaran pajak mereka. Kebijakan memanusiakan manusia harus menjadi landasan dalam reformasi pajak yang sedang bergulir saat ini. Bukan hanya berkutat dalam aspek penerimaan negara, namun juga sejauh mana penerimaan negara itu menciptakan kebahagiaan bagi mereka.

Hasil gambar untuk gambar reformasi pajak

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/reformasi-pajak-reformasi-kebahagiaan

SH