Oleh: Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Perubahan tarif pajak, nampaknya telah menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh banyak negara dalam menghadapi perubahan ekonomi global. Salah satu reformasi tarif pajak yang paling menarik perhatian adalah yang dilakukan negara adidaya, Amerika Serikat. Melalui undang-undang (UU) terbaru, Amerika Serikat (AS) memangkas pajak korporat dari 35% menjadi 21% serta melakukan pengurangan pajak untuk individu. Reformasi ini dianggap sebagai yang terbesar sejak periode 1980-an.

Walaupun berisiko mengurangi pemasukan negara, penurunan tarif pajak diharapkan memberikan keuntungan lain di bidang ekonomi. Pemerintah AS mengharapkan kebijakannya itu akan menarik arus investasi masuk ke negaranya. Selain itu, diharapkan perusahaan-perusahaan AS akan melakukan repatriasi, membawa pulang dananya yang tersimpan di luar negeri. Yang terpenting, Trump mengharapkan perusahaan AS bisa meningkatkan daya saingnya di dunia. Ada harapan dan potensi perbaikan ekonomi di sana.

Selain AS, Cina juga berencana akan melakukan pengurangan beban pajak korporasi dan perorangan senilai lebih dari 800 miliar yuan. Ini merupakan upaya restrukturasi ekonomi di tengah kebijakan AS menerapkan tarif impor terhadap produk Cina. Lewat kebijakan fiskalnya, Cina berjuang untuk tetap melindungi perekonomiannya.

Malaysia sebagai representasi negara berkembang ternyata ikut melakukan reformasi tarif pajak. Di bulan Juni tahun 2017, pemerintah Malaysia menghapus Pajak Barang dan Pelayanan (Good and Services Tax/GST). Kebijakan ini cukup memberikan pertanyaan. Dengan pemangkasan ini Malaysia kehilangan potensi pendapatan sebesar 48,3 miliar ringgit.

Indonesia juga tidak ketinggalan melakukan penurunan tarif pajak. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, pemerintah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Final bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi 0,5 persen. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong pelaku UMKM untuk semakin aktif dalam kegiatan ekonominya. Walaupun berpotensi mengurangi penerimaan, ternyata langkah tersebut tetap dilakukan.

Menaikkan atau Menurunkan Tarif?

Penurunan tarif pajak tersebut mengajarkan kita bahwa fungsi pajak bukan hanya semata-mata fungsi anggaran (budgeter) belaka. Dalam fungsi budgeter, pajak dikumpulkan sehingga menjadi sumber pemasukan keuangan negara dan pada akhirnya digunakan untuk membiayai pembangunan nasional atau pengeluaran negara lainnya. Para ahli ekonomi menyebutkan setidaknya masih ada tiga fungsi pajak selain fungsi anggaran. Tiga fungsi tersebut adalah fungsi mengatur (regulasi), fungsi pemerataan (pajak distribusi), dan fungsi stabilisasi.

Kalau memakai fungsi anggaran sebagai ukuran, penurunan tarif pajak tersebut dapat menurunkan penerimaan negara. Namun dikaitkan dengan fungsi stabilisasi, penurunan tarif pajak diharapkan dapat menstabilkan perekonomian. Pajak yang terlalu tinggi dapat merusak suasana investasi. Di lain pihak, pajak yang terlalu rendah dapat mengakibatkan penerimaan negara akan berkurang sehingga fungsi anggarannya tidak dapat tercapai.

Berkaitan dengan reformasi pajak, menaikkan atau menurunkan tarif pajak harus dikaitkan dengan kondisi perekonomian. Dalam beberapa keadaan, menurunkan tarif pajak, bisa jadi akan menaikkan penerimaan negara. Dengan menurunkan tarif pajak, diharapkan terjadi penambahan pembayar pajak (ekstensifikasi). Selain itu, penurunan tarif pajak, diharapkan dapat memberikan ruang kepada usahawan untuk meningkatkan daya saing ekonominya. Ketika daya saing mereka bertambah, maka pajak yang mereka bayarkan pun akan semakin besar.

Menaikkan tarif pajak bukanlah pilihan satu-satunya dalam reformasi pajak. Menurunkan tarif pajak bisa menjadi pilihan untuk menaikkan penerimaan. Dengan syarat, penurunan tarif pajak tersebut meningkatkan jumlah kepatuhan wajib pajak serta dikawal oleh sanksi yang lebih menggigit kepada mereka yang tidak patuh.

Penurunan tarif pajak juga dianggap dapat mendorong investasi. Dengan adanya investasi maka akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Tarif pajak yang terlalu tinggi juga dianggap menyebabkan pelarian modal (capital flight) dari satu negara ke negara lain yang menerapkan pajak yang lebih rendah. Tentu saja, ini berdasarkan anggapan bahwa pada umumnya semua perusahaan berusaha mencari keuntungan pajak yang besar setelah pajak.

Reformasi Pajak, Perubahan Menyeluruh

Reformasi pajak telah menjadi kebutuhan dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang makin kompleks. Indonesia saat ini pun sedang melaksanakan reformasi pajak. Lima pilar reformasi perpajakan yang sedang dilakukan adalah melalui peraturan perundang-undangan, organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, serta proses bisnis.

Bila kita melihat data perbandingan tarif pajak dengan negara ASEAN, tarif pajak Indonesia bukanlah yang tertinggi, namun bukan juga yang terendah. Untuk tarif PPh Badan dengan tarif umumnya pada angka 25%, masih lebih rendah dibandingkan Filipina pada angka 30 % dan lebih tinggi dari Singapura (17%), Malaysia (24%) dan Thailand (23%).

Namun, kepatuhan pajak bukan semata-mata berdasarkan faktor tarif saja. Regulasi perpajakan yang rumit menjadi salah satu penyebab rendahnya kepatuhan pajak masyarakat. Oleh karenanya, reformasi perpajakan melalui peraturan perundang-undangan menjadi hal yang penting. Saat ini, Tim Reformasi Perpajakan sedang mengajukan revisi peraturan perundang-undangan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas. Undang-undang (UU) tersebut adalah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Investasi di suatu negara juga tidak semata-mata berdasarkan faktor tarif pajak saja. Ada berbagai pertimbangan lain. Hal tersebut misalnya potensi pasar di negara tersebut, infrastruktur, kerumitan birokrasi, serta faktor tenaga kerja. Jadi, reformasi pajak bukan hanya berkutat dalam faktor internal, namun harus diikuti oleh reformasi eksternal.

Walaupun pemerintah Indonesia telah menurunkan tarif pajak untuk pelaku UMKM melalui PP 23 tahun 2018, namun masih menjadi pertanyaan, apakah penurunan tarif pajak akan menjadi pilihan ketika melakukan revisi perundang-undangan. Pemerintah mesti mempertimbangkan sebaik-baiknya dampak dari pilihan yang dilakukan, baik itu tarif yang tetap, dinaikkan, ataupun diturunkan.

Hanya satu yang tetap harus menjadi pilihan, reformasi perpajakan harus tetap dilakukan. Karena perubahan akan tetap terjadi, baik ketika kita siap berubah ataupun tidak. Siapa saja yang tidak mengikuti perubahan, maka bisa jadi, mereka akan terlindas dalam perubahan itu sendiri. Karenanya, mari kita bergerak untuk perubahan! (*)

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/reformasi-pajak-dalam-pusaran-perang-tarif

SH