Oleh: Amirul Mukminin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Di beberapa daerah kabupaten yang menerima dana desa dan/atau alokasi dana desa, ternyata terdapat perbedaan dalam perlakuan PPh Pasal 21 atas upah tukang bangunan. Ada yang memperlakukan tukang bangunan sebagai tenaga harian lepas, sehingga PPh atas upah buruh bangunan setelah dihitung adalah nihil, tetapi ada yang memperlakukan sebagai bukan pegawai yang memperoleh penghasilan yang tidak berkesinambungan.

Padahal dasar hukum yang digunakan sama, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 16/PJ/2016 Tanggal 29 September 2016 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi, tapi persepsi tidak sama.

Ini akan menimbulkan keraguan bagi para Bendahara Desa sebagai pemotong pajak, mereka khawatir dianggap merugikan keuangan negara oleh Inspektorat Kabupaten, karena ada yang memotong, tetapi hasilnya nihil, sehingga tidak ada setoran PPh Pasal 21. Perbedaan PPh Pasal 21 yang harus dipotong akibat beda perlakuan akan dijelaskan dalam tulisan berikut.

Diperlakukan Sebagai Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Harian Lepas

Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, … untuk melaksanakan suatu pekerjaan … dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, … Sedangkan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit basil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Dasar Pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21-nya adalah jumlah penghasilan yang melebihi Rp450.000,- sehari, yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp4.500.000,-. Misal : honor seorang tukang bangunan sehari Rp100.000,- yang bekerja selama 30 hari dalam 1 (satu) bulan kalender, maka terima honor/upah Rp3.000.000,-, Berarti Dasar Pengenaan Pajaknya Rp100.000 – Rp450.000 = Rp 0,- sehari, atau Rp3.000.000 – Rp4.500.000 = Rp 0,- dalam sebulan. PPh Pasal 21 yang harus dipotong = 5% x Rp 0 = Rp 0,-. Tidak ada PPh Pasal 21 yang perlu disetor ke negara.

Diperlakukan Sebagai Bukan Pegawai

Penerima penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun… sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dan pemberi penghasilan. Dasar Pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21-nya apabila tidak berfifat berkesinambungan adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto, … yang menerima imbalan. Misal : honor seorang tukang bangunan sehari Rp 100.000,- . Berarti Dasar Pengenaan Pajaknya 50% x Rp100.000,- = Rp50.000,- sehari. PPh Pasal 21 yang harus dipotong :

·    apabila tukang bangunan ber-NPWP = 5% x Rp50.000 = Rp2.500,- per orang/hari.

·    apabila tukang bangunan tidak ber-NPWP = 6% x Rp50.000 = Rp3.000,- per orang/hari.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ./2006 Tanggal 1 Februari 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Sehubungan Dengan Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Oleh Bendaharawan Atau Penanggung Jawab Pengelolaan Penggunaan Dana BOS Di Masing-Masing Unit Penerima BOS, tukang bangunan diperlakukan sebagai sebagai tenaga harian lepas. Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak mungkin perlu membuat kembali penegasan atas perlakuan pajak ini, supaya ada kepastian hukum bagi masyarakat. Tukang bangunan, sebagai masyarakat kelas bawah pun tidak perlu membuat NPWP hanya untuk menghindari tambahan tarif 20% lebih tinggi. Bukankah PPh itu pajak yang bersifat subjektif? (*)

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/perlakuan-pph-yang-tepat-atas-honor-tukang-bangunan

SH