Oleh: Andi Zulfikar, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), pajak didefinisikan sebagai “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari definisi ini kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa ketika warga negara memberikan kontribusinya kepada negara berupa pajak maka di saat yang sama, negara juga mempunyai kewajiban. Kewajiban negara adalah menggunakan pajak untuk tujuan kemakmuran rakyat. Di sinilah keseimbangan itu berada.

Menurut kbbi.web.id, kemakmuran nasional didefinisikan menjadi dua definisi. Yang pertama, kemakmuran nasional didefinisikan sebagai semua harta milik dan kekayaan potensi yang dimiliki negara untuk keperluan seluruh rakyat. Yang kedua, kemakmuran nasional didefinisikan sebagai keadaan kehidupan negara yang rakyatnya mendapat kebahagiaan jasmani dan rohani akibat terpenuhi kebutuhannya. Dengan arti lain, kemakmuran yang diharapkan dari hasil pengumpulan pajak adalah keadaan penduduk yang sejahtera, serba kecukupan dan tidak kekurangan.

Hal ini selaras dengan pendapat seorang ahli pajak, Prof. W. J. de Langen. Dia berpendapat bahwa pemungutan pajak harus berdasarkan berbagai asas, salah satunya adalah asas manfaat. Artinya pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat umum. Langen berpendapat pemungutan pajak harus memberikan manfaat bagi pembayarnya. Ini akan memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Selanjutnya dia berpendapat, selain asas manfaat, pemungutan pajak juga harus memperhatikan asas kesejahteraan. Pemungutan pajak oleh negara harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Jadi, pajak yang dikumpulkan tidak boleh dipergunakan untuk kelompok, individu atau daerah tertentu. Ini artinya harus ada pemerataan dan penyebaran manfaat pajak.

Pajak dan Pemerataan Pembangunan

Pembangunan sosial dan ekonomi yang tidak merata antarwilayah di Indonesia merupakan pekerjaan pemerintah saat ini. Untuk itu, pemerintah selalu berkomitmen untuk melakukan pemerataan pembangunan, sebagai amanat dari pengumpulan pajak sesuai Undang-Undang. Manfaat pajak tidak boleh hanya dirasakan oleh sebagian daerah saja, namun harus dirasakan merata.

Pembangunan yang secara konsisten dilakukan oleh pemerintah bukanlah bertujuan untuk melakukan pemborosan. Indonesia harus mempunyai daya saing dalam persaingan global. Infrastruktur merupakan sarana untuk meningkatkan daya saing, karenanya pembangunannya harus dilakukan dengan penuh perhitungan.

Pembangunan, selain masalah ekonomi, berhubungan juga dengan komitmen kita sebagai satu bangsa. Presiden Jokowi pernah menjelaskan bahwa membangun negara tidak sama dengan membangun kerajaan bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, menurut beliau, pembangunan infrastruktur cukup dilakukan di Pulau Jawa. Tapi dari sudut pandang bernegara, Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam pulau. Ketimpangan infrastruktur harus diatasi.

Sebagai dampak dari pemerataan pembangunan, salah satunya adalah turunnya rasio Gini pada 2018. Sebagai informasi, rasio Gini adalah ukuran yang dikembangkan oleh ahli statistik, Corrado Gini, yang berasal dari Italia. Rasio ini digunakan mengukur ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Nilai koefisien Gini berkisar antara 0 hingga 1. Semakin mendekati nol, itu berarti pemerataan pendapatan menunjukkan hasil yang semakin baik.

Badan Pusat Statistik mencatat hasil rasio Gini. Pada Maret 2018, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh rasio Gini adalah sebesar 0,389. Angka ini menurun sebesar 0,002 poin jika dibandingkan dengan rasio Gini September 2017 yang sebesar 0,391. Sementara itu, jika dibandingkan dengan rasio Gini Maret 2017 yang sebesar 0,393 turun sebesar 0,004 poin. Hal ini menunjukkan, pemerataan pembangunan dapat memacu perekonomian yang lebih baik. Dengan pemerataan pembangunan, maka hasil ekonomi dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Kita doakan!

Sumpah Pemuda, Komitmen Satu Bangsa

Tanggal 28 Oktober, diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda. Ini adalah catatan sejarah tentang tekad bangsa untuk memiliki kesatuan “tumpah darah”, “bangsa” dan “bahasa”. Sejarah mencatat bagaimana pemuda dari berbagai wilayah melakukan Kongres Pemuda Kedua pada tanggal 27-28 Oktober 1928, dan menghasilkan satu keputusan yang menggelorakan persatuan.

Keputusan untuk bersatu ini memiliki konsekuensi bahwa pembangunan harus dilakukan dalam kerangka satu bangsa. Kemakmuran rakyat adalah tujuan dari pemungutan pajak. Kemakmuran rakyat berarti kesejahteraan harus dirasakan seluruh bangsa, bukan hanya sebagian wilayah saja. Hasil ekonomi harus dinikmati dari Sabang sampai Merauke.

Untuk itu, segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan adalah cerminan dari komitmen Sumpah Pemuda. Komitmen ini akan terus dijaga melalui pemerataan infrastruktur. Hal itu memang memerlukan pengorbanan. Namun sebagaimana para pendiri bangsa yang terus berjuang membuka pintu gerbang kemerdekaan, maka saatnya kita melanjutkan cita-cita mereka. Kita akan menuju kemakmuran yang kita dambakan bersama. Salah satu sarananya adalah melalui pengumpulan pajak. (*)

Pajak untuk Kesejahteraan, Potret Sumpah Pemuda

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/pajak-untuk-kesejahteraan-potret-sumpah-pemuda

SH