Oleh: Nela Gustina Muliawati, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Di era globalisasi ini, masyarakat dapat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia denga mudah. Selain itu, tingkat mobilitas penduduk antar negara juga semakin meningkat. Hal ini tecermin dari semakin pesatnya kegiatan perekonomian lintas negara, baik kegiatan perdagangan maupun kegiatan investasi. Kemudahan akses informasi dimanfaatkan oleh pelaku perdagangan internasional untuk memasarkan produknya di pasar internasional serta untuk mengakses informasi tentang lawan bisnisnya.

Selain itu, kemudahan akses informasi dapat dimanfaatkan oleh investor sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan investasi di luar negeri. Lebih dari itu, adanya peningkatan mobilitas penduduk menunjukan adanya kegiatan yang dilakukan lintas negara, misalnya pendirian perusahaan di luar negeri, bekerja di luar negeri, maupun sekadar berwisata ke luar negeri.

Kegiatan perekonomian lintas negara memiliki dampak pada perekonomian nasional sebuah negara, baik dampak positif maupun dampak negatif. Oleh karena itu, biasanya akan muncul konflik kepentingan antara negara satu dengan negara yang lain. Pada umumnya, konflik ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan setiap negara untuk melindungi perekonomian dalam negeri. Konflik kepentingan tersebut biasanya dapat memicu perang ekonomi. Walaupun demikian, kestabilan ekonomi dalam negeri bukan satu-satunya alasan suatu negara untuk melakukan peperangan ekonomi.

Salah satu peperangan ekonomi yang sedang hangat dibicarakan adalah perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat yang dimulai pada Maret 2018. Pada bulan Desember 2018, peperangan ini mereda dengan adanya kesepakatan gencatan senjata antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Selain itu, skandal praktik dumping dan kebijakan anti-dumping yang dilakukan beberapa negara dalam perdagangan internasional juga menjadi sorotan dunia. Praktik perdagangan tersebut dilakukan semata-mata untuk menjaga kedaulatan ekonomi negara.

Sebagai salah satu aktor dalam perekonomian dunia, Indonesia tentu menghadapi konflik ekonomi. Dalam menghadapi konflik tersebut, Indonesia tidak cukup hanya sekadar menerapkan kebijakan perdagangan internasional. Lebih dari itu, Indonesia perlu membangun perekonomian yang kuat melalui berbagai instrumen kebijakan publik karena bagaimanapun juga dalam sebuah perekonomian pasti berlaku hukum penawaran dan permintaan yang dipengaruhi oleh kekuatan pasar.

Dalam membangun perekonomian yang kuat, Indonesia tentunya membutuhkan dana yang cukup besar. Indonesia mendapatkan dana tersebut dari penerimaan APBN yang komponen terbesarnya berasal dari pajak. Besarnya kontribusi pajak dalam penerimaan APBN menunjukan bahwa pajak adalah tulang punggung negara. Pajak mendanai sebagian besar pembangungan negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, pajak telah menjadi simbol kemandirian Indonesia dalam pelaksanaan pemerintahan yang berdaulat.

Selain sebagai tulang punggung negara, pajak mampu menunjukan kedaulatan Indonesia atas kegiatan perekonomian lintas negara. Kedaulatan ini tercermin dalam ketentuan perpajakan Indonesia melalui pengenaan pajak kepada semua warga negara Indonesia di mana pun berada serta pengenaan pajak bagi WNI (Warga Negara Indonesia) maupun WNA (Warga Negara Asing) yang pendapatannya bersumber dari Indonesia.

Pengenaan pajak kepada semua warga negara menunjukan kedaulatan Indonesia atas warga negaranya sebagai anggota negara yang tunduk di bawah hukum pemerintahan Indonesia. Sementara itu, pengenaan pajak kepada siapa pun yang memperoleh penghasilan dari Indonesia menunjukan kedaulatan Indonesia atas wilayah beserta sumber daya yang ada di dalamnya.

Dalam praktiknya, pengenaan pajak tersebut belum memberikan hasil yang maksimal pada penerimaan pajak dikarenakan adanya praktik penghindaran pajak. Penghindaran pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara. Di era globalisasi ini, praktik penghindaran pajak dapat dilakukan melalui manipulasi transaksi lintas negara. Oleh karena itu, Indonesia ikut serta dalam perjanjian internasional terkait pertukaran informasi keuangan yang berguna untuk mendeteksi adanya praktik penghindaran pajak sekaligus sebagai sarana untuk penggalian potensi perpajakan.

Pada tahun 2017, Indonesia telah menandatangani perjanjian pertukaran CbC Report selaku anggota G20 dan anggota Inclusive Framework on BEPS (Base Erosion and Profit Shifting)CbC Report (Country by Country Report / Laporan per Negara) berisi informasi tentang transfer pricing yang meliputi alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, daftar anggota grup usaha, dan aktivitas usaha dari seluruh anggota grup usaha yang disajikan sesuai dengan standar internasional. Pertukaran CbC report bertujuan meminimalkan kerugian negara akibat penyalahgunaan transfer pricing.

Pada mulanya, transfer pricing merupakan kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer baik transfer internal perusahaan maupun transfer antara perusahaan satu dengan yang lain. Namun, praktik tersebut telah disalahgunakan untuk melalukan penghindaran pajak melalui transaksi dengan harga tidak wajar (biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa) yang mengakibatkan terjadinya penggerusan basis pajak dan pengalihan laba ke negara lain (biasanya negara tax heaven).

Melalui perjanjian pertukaran CbC report, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengakses informasi yang berguna untuk menganalisa adanya hubungan istimewa dalam transaksi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan. Analisa ini berguna dalam pelaksanaan rekonsiliasi fiskal laporan keuangan perusahaan yang dilakukan untuk menentukan laba / rugi fiskal suatu perusahaan sebagai dasar penghitungan pajak. Melalui rekonsiliasi fiskal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengamankan penerimaan pajak.

Selain itu, pada tahun 2018, Indonesia mulai mengimplementasikan program pertukaran informasi otomatis / Automatic Exchange of Information (AEoI) sebagai wujud komitmen Indonesia bersama anggota negara G20 dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dalam mewujudkan transparansi, kerja sama, dan akuntabilitas lembaga keuangan dan administrasi perpajakan untuk mengurangi peluang terjadinya penghindaran pajak. Melalui program AEoI, Direktorat Jenderal Pajak berwenang mengakses informasi keuangan secara otomatis, baik dari Indonesia maupun negara lain, untuk kepentingan perpajakan.

Dengan adanya pertukaran CbC report dan program AEoI, Indonesia dapat mempertahankan kedaulatan keuangan negara melalui pengamanan penerimaan pajak. Selain itu, keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian pertukaran informasi keuangan menunjukan eksistensi Indonesia di dunia internasional.

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/pajak-sebagai-wujud-kedaulatan-negara-di-era-globalisasi

SH