Oleh: Buyung Muniriyanto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sawit, siapa yang tidak mengenal sawit dan perkebunan sawit. Perkebunan sawit merupakan sektor perkebunan terbesar di Indonesia dan perkebunan sawit Indonesia adalah perkebunan yang terbesar di dunia. Berdasarkan data Dirjen Perkebunan luas perkebunan sawit sebesar 11.672.861 Ha dengan produksi per tahun 33.500.691 ton. Dengan produksi yang mencapai puluhan juta ton pertahun secara makro ekonomi sawit jelas memberikan dampak positif terhadap perekonomian nasional. Tapi bagaimana jika kita lihat lebih jauh dengan perspektif ekonomi lingkungan atau yang dikenal dengan nama pegovian economyDalam tulisan ini, pembahasan akan lebih difokuskan  mengenai pajak.

Mungkin kita pernah mendengar environment tax atau pajak lingkungan sebagai salah satu bagian dari pegovian economy, pajak lingkungan adalah pajak yang memperhitungkan biaya sosial sebagai akibat dari perbuatan atau tingkah laku seseorang, sebagai contoh; seseorang yang mengendarai sebuah mobil akan timbul biaya-biaya lain yang harus diperhitungkan selain biaya bensin, biaya pajak kendaraan, biaya tol, biaya parkir dan lain-lain, yaitu biaya polusi, biaya kerusakan lingkungan dari limbah mobil, biaya kenyamanan seseorang yang terganggu karena aktifitas orang lain dan lain sebagainya. Biaya-biaya tersebut adalah biaya-biaya eksternal yang menyangkut kehidupan sosial dan kelestarian lingkungan atas keberadaan dan/atau penggunaan mobil tersebut.

Dengan konsep yang sama, tulisan ini yang mencoba menghitung dampak dari sektor kelapa sawit dengan memasukan faktor kerusakan lingkungan akibat sektor kelapa sawit. Faktor tersebut akan menjadi pengurangan dari PDB kelapa sawit. Secara nasional PDB kelapa sawit berkonstribusi positif dalam meningkatkan PDB Nasional dengan kontribusi rata-rata empat persen pertahun. Tetapi apakah akan tetap memberikan kontribusi positif apabila faktor eksternal juga diperhitungkan dalam menghitung PDB dari sektor kelapa sawit.

PDB dihitung dari penjumlahan COE (Comission of Employee), GOS (Gross Operating Surplus), GMI (Gross Mixed Income), pajak dan dikurangi dengan subsidi pemerintah. Sehingga kalau dari rumus diatas secara akuntansi dapat diasumsikan PDB dari sektor kelapa sawit adalah produksi total dari sektor kelapa sawit. Dari perhitungan dengan menggunakan pendekatan tersebut diperoleh PDB sawit ikut tumbuh seiring dengan pertumbuhan PDB nasional. Sawit memberikan kontribusi pada perekonomian nasional rata-rata 2.1 % per tahun dengan kontribusi terbesar pada tahun 1998 yaitu sebesar 3.8%, hal ini lebih disebabkan karena pada tahun itu terjadi krisis ekonomi sehingga PDB nasional mengalami penurunan.

Dalam kurun waktu dua puluh tahun produksi kelapa sawit meningkat lebih dari dua puluh kali lipat. Sehingga pada tahun 2006 melempaui Malaysia dan menjadi produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Peningkatkan produksi kelapa sawit yang pesat disebabkan oleh pembukaan lahan kelapa sawit yang sangat besar sepanjang tahun 1990-an sampai sekarang. Pembukaan lahan kelapa sawit tersebut tidak hanya dari lahan tidur yang tidak terpakai tetapi juga dari hutan yang dikonversi menjadi lahan kelapa sawit.

Selain itu konversi ladang gambut dan polusi yang dikeluarkan oleh sektor sawit merupakan faktor yang harus dihitung juga. Karena tidak hanya konversi hutan yang menyebabkan kerusakan lingkungan secara permanen, karbon dioksida yang dihasilkan dari konversi ladang gambut dapat mengakibat effek rumah kaca dan pemanasan global yang secara pelan tapi pasti akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Es di kedua kutub akan mencair akibat panas yang ditimbulkan oleh global warming. Pencairan es tersebut akan meningkatkan level permukaan air. Setiap sentimeter permukaan air laut yang meningkat menyebabkan ribuan hektare daratan termasuk daerah pertanian, perkebunan dan lahan komersial akan tenggelam. Sehingga dapat dibayangkan berapa kerugian ekonomi yang ditimbulkan atas peristiwa tersebut.

Berdasarkan metode yang dikembangkan oleh ekonom lingkungan Pearce pada tahun 2002 dan beberapa ekonom lain, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh sektor kelapa sawit dapat dihitung secara ekonomi sehingga dapat dikuantifikasi berapa kerugian yang diakibatkan dari sektor kelapa sawit. Kerugian tersebut kemudian dikurangkan dari PDB kelapa sawit sehingga diperoleh jumlah bersih kontribusi kelapa sawit dalam PDB nasional. Grafik berikut menunjukan kontribusi bersih sawit terhadap perekonomian nasional dari perspektif ekonomi lingkungan

                                                                                                                   Grafik Dampak Sektor Kelapa Sawit terhadap Perekonomian Nasional

Dari grafik di atas diperoleh data bahwa tahun 2001 kontribusi sektor kelapa sawit negatif, sehingga kelapa sawit yang seharusnya mendongkrak ekonomi nasional malah menjadi beban karena kontribusinya negatif. Meskipun kontribusi negatif hanya terjadi pada tahun 2001 tetapi secara keseluruhan kerusakan lingkungan akibat sektor kelapa sawit meng-offset PDB sektor tersebut sebesar kurang lebih empat puluh persen. Sehingga tidak dipungkiri bahwa selama ini kita telah mencatat terlalu tinggi untuk kontribusi sektor sawit terhadap PDB nasional.

Kalau dari sektor sawit saja sudah mencatat terlalu tinggi lalu bagaimana dengan sektor-sektor lainnya? Apabila kita tidak memperhatikan kerusakan lingkungan akibat pengelolaan perkebunan, maka sedikit demi sedikit social cost akan semakin mahal, sebagai contoh wabah penyakit, kekurangan air bersih, banjir, polusi, pencemaran lingkungan dan lain-lain. Biaya-biaya itu akan menjadi tanggung jawab pemerintah. Sehingga dapat diprediksi apabila kita tidak menghitungnya sekarang, maka dikemudian hari akan menjadi bom waktu yang akan menjadi beban berat bangsa Indonesia. Oleh karena itu peran pajak, sebagai regulator harus tepat sasaran untuk memberikan batas-batas pengelolaan sumber daya alam yang baik.

Karena fungsi tersebut, pajak dapat mengenakan pajak untuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang menyangkut harkat hidup orang banyak dangan memperhitungkan biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh suatu pengelolaan sumber daya alam. Pengenaan pajak ini diharapkan dapat merubah perilaku para pelaku bisnis. Sehingga di masa yang akan datang kontribusi sawit terhadap perekonomian nasional akan semakin besar tanpa efek samping terhadap lingkungan yang dapat menurunkan perekonomian itu sendiri. Artikel ini merupakan gambaran secara nasional untuk lingkup yang lebih kecil bisa diterapkan di Belitung. Berdasarkan hal tersebut, sebelum peraturan pajak bisa meregulasi maka peraturan-peraturan daerah harus bisa membatasi efek samping dari perkebunan sawit. Sehingga Belitung sebagai pulau tujuan wisata akan terselamatkan di masa depan. (*)

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/meninjau-kontribusi-sawit-pada-pajak-nasional-dan-perekonomian-belitung

SH