Oleh: Mukhamad Wisnu Nagoro, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan bagaimana perjalanan panjang pengenaan pajak di Indonesia. Dari mulai era berkuasanya kerajaan-kerajaan sampai dengan masa kolonialisme penjajahan. Dimana pengenaan pajak pada masa itu dirasa sangat berat oleh rakyat Indonesia dan sangat membebani. Selain monopoli aturan pengenaan pajak juga karena terjadi banyaknya penyelewengan oleh pemerintah kolonial. Sehingga meninggalkan kesan negatif akan pajak. Namun, setelah Indonesia merdeka babak baru era perpajakan Indonesia dimulai.

Era Pasca Kemerdekaan Sampai Era Reformasi Perpajakan

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pajak menjadi salah satu opsi penting yang dibahas pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah yang baru seumur jagung kala itu paham betul kalau negara tanpa sumber pembiayaan tidak akan bisa mandiri dan berdiri setara dengan bangsa lainnya di dunia. Maka dari itu para pendiri bangsa ini menuangkannya pada Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah sejak tanggal 14 Juli 1945. Yaitu pada saat sidang BPUPKI. Walhasil masuklah pajak dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 dengan kalimat “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Ini menjadi tonggak awal era baru pajak di Indonesia serta cikal bakal diperingatinya tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak.

Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 Kementerian Keuangan dibentuk sebagai bagian dari pemerintah yang mengurus  tentang keuangan negara. Di dalam organisasi Kementerian Keuangan tersebut terdapat Pejabatan Pajak yaitu bagian yang mengurusi tentang pengenaan pajak di Indonesia. Tidak lama setelah pemerintah baru ini berdiri ternyata Agresi Militer Belanda Pertama yang dibonceng oleh NICA berhasil menguasai ibukota Jakarta. Sehingga pemerintah memindahkan ibukotanya ke Yogyakarta. Begitupun Kementerian Keuangan dan Pejabatan Pajak ikut pindah ke sekitar Yogyakarta tepatnya di daerah Magelang. Itulah mengapa sering kita mendengar cerita kalau kantor pajak pertama ada di Magelang.

Karena hal itu pula pemerintah belum dapat mengeluarkan undang-undang khusus yang mengatur tentang pajak meskipun Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 pada saat itu mengamanatkan demikian. Padahal roda pemerintahan dan pembiayaan pengeluaran negara harus tetap dijalankan. Maka, pemerintah mengadopsi beberapa aturan tentang pajak peninggalan pemerintahan kolonial. Antara lain Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 serta membentuk beberapa suborganisasi dalam melaksanakan pemungutan pajak. Seperti Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai serta Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter.

Pada masa itu pemerintah menerapkan sistem official assesment dalam pengenaan pajak kepada masyarakat yaitu sistem pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus. Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan. Pada masa itu sistem ini dirasa pemerintah masih mengakomodir pemungutan pajak di Indonesia. Mengingat negara ini baru berdiri dan permasalahan mengenai pajak belum serumit seperti sekarang ini. Tapi meskipun pada kenyataanya pajak di masa itu menjadi sumber utama penerimaan negara dan menggunakan sistem official assesment tetap saja negara masih dalam kondisi miskin. Kondisi ini semakin parah ketika Presiden Soekarno mengubah haluan politiknya lebih ke arah paham sosialisme Karl Max versi Indonesia. Akibatnya adalah kampanye politik luar negeri yang ekspansif dilakukannya sehingga menimbulkan dampak pengeluaran negara yang lebih besar. Sedangkan penerimaan negara dari pajak cenderung stagnan.

Puncaknya adalah ketika di tahun 1960an rezim Orde Lama (sebutan untuk rezim Soekarno) sedang gencar-gencarnya melaksanakan kampanye “Ganyang Malaysia” dan menggalakan proyek-proyek mercusuar seperti pembangunan Senayan dan Monumen Nasional. Akibatnya adalah inflasi yang meroket pada saat itu mencapai 500%. Imbas lanjutannya yaitu ketika rezim berikutnya berkuasa mulai terjadi gejolak ekonomi. Tepatnya pada saat masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Rezim baru ini mewarisi dampak dari pemerintah sebelumnya. Perekonomian tidak stabil dengan inflasi mencapai 600%. Kebijakan ekonomi pemerintah sebelumnya terbukti gagal menghadapi perkembangan zaman. Tanpa pikir panjang Presiden Soeharto langsung mengambil langkah sakti yaitu menekan inflasi dengan utang luar negeri. Agaknya pada saat itu hanya utang luar negeri yang dirasa logis ketimbang melaksanakan pembaharuan atau optimalisasi dari pajak.

Meskipun begitu pada tahun 1965 rezim ini berhasil memberi terobosan baru di bidang fiskal yaitu desentralisasi pajak atas Pajak Hasil Bumi kepada pemerintah daerah dan mengubah namanya menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) serta dimulailah pembangunan kantor IPEDA di berbagai daerah. Di sini pembagian wewenang antara pajak yang dikelola pusat dan daerah mulai terlihat. Juga awal mula penggunaan sistem self asssesment mulai terlihat. Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 tentang perubahan mengenai Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Kekayaan 1932, dan Pajak Perseroan 1925 menjadi cikal bakal pemungutan pajak dengan menggunakan sistem self asssesment.

Sistem pemungutan pajak baru yang dicetuskan oleh Orde Baru ini pada saat itu dikenal dengan MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain). Sistem ini muncul setelah evaluasi pemerintah terhadap kegagalan sistem pemungutan pajak yang lama dimana peran penghitungan pajak dilakukan sepihak oleh fiskus. Sedangkan di sistem baru ini sebagian besar penghitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak. Wajib pajak diberi kewenangan untuk menghitung pendapatan dan kekayaannya sendiri kemudian diberikan kewenangan pula untuk menghitung pajaknya sendiri.

Sistem ini telah diterapkan di Amerika serta beberapa negara Eropa lainnya dan terbukti efektif dalam melakukan pemungutan pajak. Angin segar kembali menerpa bangsa Indonesia masa itu. Kebijakan ekonomi pemerintah mulai terarah dan lebih baik ketimbang rezim sebelumnya. Namun, di masa yang akan datang kembali beberapa masalah muncul dan menjadikan aturan yang baru ini tidak lagi relevan dan berdampak pada perombakan besar terhadap aturan ini pada tahun 1983. Pembahasannya akan era perpajakan selanjutnya akan diulas pada bagian akhir artikel ini.(*)

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/menengok-sejarah-perpajakan-di-indonesia-bagian-kedua

SH