Oleh: Mochammad Bayu Tjahono, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Founder and Chairman CT Corp, Chairul Tanjung, beberapa waktu lalu menjadi pembicara dalam acara Tax Gathering yang diselenggarakan Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan I. Dalam kesempatan tersebut, dia bercerita perjalanan karirnya hingga menjadi konglomerat. Pria yang akrab disapa CT itu mengatakan, pada mulanya dia bekerja di sektor informal. Hal itu dia geluti saat masih kuliah di Universitas Indonesia (UI).

Ada beberapa hal yang diutarakan oleh CT. Pekerjaan pertama dimulai dari sektor informal, perusahaan sendiri dan tidak punya pegawai karena pegawainya dia sendiri yaitu usaha fotokopi diklat. Hal ini dilakukan CT pada tahun 1981 pada saat masih kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Pekerjaan ini dilakukan karena desakan ekonomi dimana CT harus membiayai sekolahnya sendiri.

Seiring waktu bisnis CT berkembang menjadi pengusaha kecil. Di fase ini, dia mulai mempunyai pegawai 1-3 orang, terus tumbuh dan kemudian menjadi pengusaha kelas menengah. Sebagai pengusaha kelas menengah dia mulai memiliki manajer sendiri. Bisnisnya pun masih terus berkembang menjadi pengusaha besar, hingga akhirnya konglomerat. “Saya sudah alami tahapan dari informal jadi pengusaha kecil, pengusaha menengah, pengusaha besar, jadi konglomerat. Alhamdulillah semua nggak selancar seperti cerita yang saya ungkapkan. Prosesnya pasti ada, proses jatuh bangun,” paparnya.

Konsisten menjadi faktor yang penting dan perlu diambil hikmah dari kegagalan yang kita alami sehingga bisa kita eliminasi penyebab kegagalan tersebut sampai akhirnya kegagalan tidak dialami lagi.

Wajib Pajak dan Pembayar Pajak

Wajib pajak, sering disingkat dengan sebutan WP adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Termasuk pemungutan atau pemotongan pajak tertentu. Sedangkan tax payer, dalam kamus bahasa Inggris tax payer diartikan sebagai pembayar pajak. Banyak orang masih beranggapan bahwa itu hanya sekedar istilah saja, namun sebenarnya istilah tax payer/pembayar pajak memiliki arti yang luas.

Pembayar pajak adalah orang yang telah menunaikan kewajiban perpajakan dengan membayar pajak sesuai dengan ketentuan. Terhadap kontribusi tersebut pembayar pajak akan mendapatkan pelayanan yang baik dan bisa menuntut negara bila terjadi penyelewengan pajak atau tidak mendapat pelayanan yang bagus. Tetapi bukan berarti dengan kontraprestasi yang demikian akan terjadi diskriminasi terhadap yang bayarnya lebih besar. Perlakuan akan tetap sama karena besar pembayaran berdasar pada penghasilan yang dimiliki dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain untuk menghargai hak pembayar pajak, pengubahan istilah ini juga merupakan upaya untuk menggenjot tingkat kepatuhan wajib pajak yang tergolong masih rendah, sehingga berdampak pada target penerimaan pajak. Selain kepatuhan dalam membayar masih rendah, tax ratio di Indonesia juga rendah hanya di kisaran 13%. Hal ini memberi gambaran bahwa masih banyak warga negara yang belum berkontribusi membangun negara dengan membayar pajak. Perubahan istilah dan makna diharapkan dapat meningkatkan tax ratio.

Salah satu pengusaha yang ikut mendorong penggunaan istilah tax payer adalah Chairul Tanjung. Dalam suatu kesempatan CT menyampaikan di negara maju sudah tidak dipakai kata wajib pajak, melainkan pembayar pajak (tax payer). Sementara di Indonesia masih berlaku sebutan wajib pajak. CT menjelaskan secara filosofis perbedaan sebutan wajib pajak dengan pembayar pajak sangat penting. Jika disebut wajib pajak, seolah mereka hanya punya kewajiban saja, tidak punya hak.

Beberapa negara maju sudah menggunakan istilah tax payer atau  pembayar pajak, karena di situ terdapat kewajiban dan hak. Dalam transformasi sistem perpajakan yang sedang kita godok saat ini, mudah-mudahan hal ini termasuk menjadi bahan pertimbangan. Dalam pembahasan undang-undang perpajakan yang baru selain DPR juga melibatkan beberapa pengusaha dan Ditjen Pajak. Pembahasan bersama ini dengan tujuan untuk melakukan review terhadap undang-undang pajak yang sudah ada. Review ini sendiri bertujuan untuk kebaikan bagi bangsa dan negara. Bersama beberapa pengusaha dan direktur di Ditjen Pajak, CT membahas mengenai hal tersebut.

“Saya waktu itu berharap kata wajib pajak jadi pembayar pajak karena di situ ada kewajiban tapi juga ada hak. Tapi sampai sekarang perjuangan saya belum berhasil,” kata CT. Selain itu, CT juga mengingatkan agar para petugas pajak dan wajib pajak bisa berkolaborasi dengan baik, namun kolaborasi disini bukan untuk menghilangkan kewajiban membayar pajak.

“Ini semua bertujuan untuk memberi pemahaman yang baik, sehingga wajib pajak dapat membayar pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ke depan diharapkan pajak menjadi sebuah instrumen, bukan hanya collection-nya pemerintah tapi menjadi instrumen keadilan, instrumen pemerataan, dan instrumen pertumbuhan,” lanjut CT.

Di era modern ini kata sinergi dan kolaborasi menjadi kunci, namun masih menjadi sekedar simbol atau jargon saja belum diterapkan secara tepat dalam keseharian. Untuk itu sinergi positif antara petugas pajak dan masyarakat dalam mengumpulkan penerimaan pajak menjadi kata kunci untuk keberhasilan pembangunan. Marilah kita hentikan saling menyalahkan dan menyebarkan berita yang tidak berdasarkan kenyataan demi tercapainya target penerimaan pajak. (*)

CT memberikan sharing session di acara Tax Gathering Kanwil DJP Jakarta Selatan I

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/ct-pengusaha-yang-ingin-menghilangkan-kata-wajib-pajak

SH