Oleh: Mukhamad Wisnu Nagoro, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Baru-baru ini beredar berita bahwa tarif PPh Badan sebesar 25% akan dikaji untuk diturunkan. Tidak tanggung-tanggung berita tersebut ditayangkan oleh media nasional. Latar belakang penurunan tarif tersebut konon katanya adalah agar Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara lain terutama di Asia untuk menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, apakah relevan menurunkan tarif PPh Badan di saat penerimaan pajak di Indonesia tidak tercapai? Apakah tarif PPh Badan di Indonesia terlalu tinggi sehingga kita tidak mampu bersaing dengan negara lain? Suatu anomali kah? Mari kita bahas!

Sebelumnya Indonesia dan negara lainnya di dunia telah memasuki era Revolusi Industri 4.0. Di mana saat sekarang ini Indonesia harus membangun infrastruktur dan sumber daya manusianya secara besar-besaran, sedangkan pembangunan di kedua bidang tersebut tidak murah. Juga, pembangunan kedua bidang tersebut sebagian besar dibiayai oleh APBN. Porsi APBN sendiri 80% terdiri dari pajak. Di sisi lain dunia perpajakan Indonesia juga tengah mengadakan sebuah langkah besar yaitu Reformasi Perpajakan Jilid III.

Dalam reformasi kali ini Direktorat Jenderal Pajak juga akan memperbaiki regulasi dan menyederhanakan proses bisnisnya. Reformasi ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak di masa yang akan datang. Dari isu yang beredar salah satu kebijakannya adalah dengan menurunkan tarif pajak antara lain PPh Badan. Maka penurunan tarif ini jika dilihat dari kaca mata telanjang akan terlihat bertabrakan. Karena di satu sisi pemerintah terlihat membutuhkan biaya namun di satu sisi malah menurunkan tarif.

Tarif PPh Badan di Indonesia sendiri adalah sebesar 25% dan mulai berlaku sejak 2010. Sebelumnya tarif PPh Badan di Indonesia pernah berlaku sebesar 28%. Tarif ini pun dihitung dari penghasilan neto. Artinya wajib pajak masih diberikan kelonggaran-kelonggaran dengan cara membiayakan biaya yang boleh menjadi pengurang. Jadi meskipun wajib pajak memiliki peredaran usaha yang besar belum tentu wajib pajak tersebut membayar pajak dengan jumlah yang besar.

Juga, terdapat beberapa fasilitas dalam pengenaan PPh Badan di Indonesia. Salah satunya adalah pemberian diskon tarif sebesar 50% dari tarif normal untuk wajib pajak dalam negeri dengan peredaran usaha Rp50 Miliar. Mereka diberikan pengurangan tarif dengan dikenakan 50% dari tarif 25% untuk penghasilan sampai dengan Rp4,8 Miliar. Jadi tidak bisa dikatakan kalau tarif PPh Badan di Indonesia adalah anomali.

Perlu diluruskan bahwa saat ini pemerintah masih mengkaji apakah tarif PPh Badan akan turun atau dilakukan penyesuaian dengan memberikan kebijakan lain. Jadi belum pasti apakah akan diturunkan atau tidak. Kalau kita lihat imbas penurunan tarif ini sendiri jika disimulasikan akan berdampak luas. Katakanlah tarif PPh Badan disamakan dengan negara Singapura yaitu 17%. Maka potensi penurunan penerimaan pajak adalah sebesar Rp137 Triliun. Dari Rp137 Triliun tersebut akan berimbas ke berbagai sektor. Akan banyak proyek pembangunan infrastuktur yang mangkrak, gaji guru tidak akan naik bahkan dipotong dan masih banyak dampak negatif lagi.

Berdasarkan fakta yang ada tarif PPh Badan di Indonesia dapat dikatakan masih tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. Bahkan, ini bisa dikatakan masih cukup ideal. Mari kita bandingkan, rata-rata tarif di negara ASEAN adalah 22,35% dan rata-rata tarif di negara OECD adalah 23,69%. Lalu tarif terendah di negara ASEAN adalah 17% di Singapura dan tertinggi adalah 30% di Filipina. Hal ini menunjukan bahwa tarif PPh Badan di Indonesia tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah serta masih berada di tengah-tengah. Sekali lagi tidak tepat jika dikatakan tarfi PPh Badan 25% itu adalah suatu anomali.

Lalu bagaimana apabila tarif PPh Badan jadi diturunkan? Apakah relevan? Relevan tidaknya tergantung tujuan utama pemerintah dalam menurunkan tarif ini. Karena sebelumnya pernah diturunkan dari 28% menjadi 25% di tahun 2010. Jika tujuan pemerintah menurunkan tarif pajak hanya untuk menarik investor dan diproyeksikan untuk jangka pendek maka belum tentu ini memberikan dampak positif bagi penerimaan perpajakan.

Namun, jika tujuan penurunan tarif ini juga sebagai langkah awal untuk meningkatkan kesadaran pajak dan diproyeksikan untuk jangka panjang, kenapa tidak? Dengan meningkatnya kesadaran pajak tentunya akan memberikan dampak positif bagi Indonesia. Ibarat kata pepatah, mundur satu langkah untuk maju sepuluh langkah. Mengingat saat ini tingkat kepatuhan dan kesadaran pajak di Indonesia masih dikatakan cukup rendah dan seandainya dengan langkah menurunkan tarif PPh Badan akan menjadikan tingkat kepatuhan dan kesadaran pajak naik maka kebijakan penurunan tarif tersebut dapat dikatakan relevan.

Selain itu kebijakan ini pun harus diproyeksikan untuk jangka panjang. Sebab, bisa saja setelah tarif diturunkan ternyata tidak langsung menarik investor dan meningkatkan kesadaran pajak. Butuh waktu untuk menikmati dampak positifnya. Kebijakan penurunan tarif PPh Badan juga harus dibarengi dengan kebijakan lain yang berperan menjadi katalisator dalam menaikan kesadaran pajak, sehingga tujuan utamanya akan tercapai. Jadi, anomali pun tidak masalah jika berdampak positif.

Terlepas dari semua hal tersebut kita sebagai warga negara harus selalu mendukung kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bagaimanapun juga sebagus apa pun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah namun tanpa dukungan dari rakyatnya pasti akan gagal total. Sebagai wajib pajak yang baik sudah seharusnya harus melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik. Jangan hanya memprotes kebijakan pemerintah tetapi nihil kontribusi. Demi masa depan anak cucu kita, mari kita lebih sadar pajak.

Sumber:http://www.pajak.go.id/article/25-tarif-pph-badan-anomali

SH