Implementasi Transparansi Perpajakan di Dalam Negeri  Melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) 

Latar Belakang Lahirnya AEoI

Krisis keuangan global pada 2008 menimbulkan dampak yang sangat besar pada hampir seluruh negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Perekonomian di hampir seluruh negara mengalami perlambatan dan ketidakpastian. Sehingga situasi tersebut memengaruhi besarnya penerimaan pajak setiap negara, mengingat sebagian besar porsi penerimaan pajak berasal dari aktivitas ekonomi yang pendapatannya sangat tergantung pada kondisi perekonomian dunia.

Untuk dapat bangkit dari krisis dan kembali memulihkan perekonomian di negara masing-masing, setiap negara memerlukan sumber pendanaan untuk membiayai penyehatan sektor keuangan dan stimulus ekonomi, antara lain dengan memobilisasi sumber daya domestik (domestic resource mobilization) masing-masing negara, terutama dari pajak.

Mobilisasi sumber daya domestik dari pajak ini mengalami hambatan dengan maraknya praktik penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion) oleh para wajib pajak multinasional. Mereka memanfaatkan kondisi keterbatasan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Salah satu modus penghindaran pajak atau pengelakan pajak adalah dengan cara menggeser profit dan menyimpan uang dari hasil kegiatan tersebut di negara-negara suaka pajak (tax havens) atau Offshore Financial Center. Untuk menangkal praktik penyembunyian aset keuangan tersebut, diperlukan suatu kerja sama internasional, khususnya di bidang pertukaran informasi (terutama informasi keuangan) antar otoritas perpajakan, yang disebut dengan Automatic Exchange of Information.

Dalam Common Reporting Standard (CRS) yang disusun oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan negara-negara yang tergabung dalam G-20, Indonesia merupakan salah satu negara dari 100 negara lainnya yang telah menyatakan komitmennya untuk mengimplementasikan pertukaran informasi secara otomatis di bidang perpajakan, mulai September 2018. Dalam kesepakatan AEoI tersebut, informasi keuangan wajib pajak dapat dipertukarkan antar otoritas wajib pajak.

Ketentuan Automatic Exchange of Information (AEoI) yang direkomendasikan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan negara-negara yang tergabung dalam G-20, sebenarnya telah diterapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pada 27 Maret 2014, pemerintah menerbitkan PMK-60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi yang kemudian diubah menjadi PMK-125/PMK.010/2015. Kemudian pada 3 Maret 2017, peraturan tersebut dicabut dan digantikan dengan PMK-39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi berdasarkan Perjanjian Internasional.

Dalam peraturan tersebut dinyatakan pejabat berwenang di Indonesia dapat meminta informasi kepada pejabat berwenang di negara mitra, mengenai data pajak dan keuangan dalam rangka pengawasan dan pemeriksaan. Namun, prosedur tersebut selama ini masih dilakukan secara manual dan membutuhkan waktu yang lama dalam menantikan balasan dari negara mitra. Karena itu, melalui agenda AEoI ini, diharapkan waktu pertukaran data tersebut dapat dipersingkat.

Implementasi Transparansi Perpajakan di Dalam Negeri

Di dalam negeri, seiring dengan kesepakatan AEoI ini, pemerintah dan DPR mengesahkan UU Keterbukaan untuk Kepentingan Perpajakan. Sehingga, wajib pajak kini tidak dapat lagi menyembunyikan informasi kekayaannya di luar negeri. Hingga 2017, DJP telah memiliki kewenangan pertukaran data keuangan dengan 50 negara lain. Di 2018, jumlah tersebut bertambah sampai 50 negara lainnya, sehingga terdapat total 100 negara mitra yang memiliki perjanjian pertukaran data.

Tak hanya itu, pemerintah juga semakin mempersempit ruang gerak wajib pajak yang ingin menyembunyikan kekayaannya. Pada Maret 2017 lalu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan sistem aplikasi keuangan nasabah yang terintegrasi, yaitu Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank (AKASIA) bagi kalangan internal DJP dan Aplikasi Buka Rahasia Bank (AKRAB) untuk kalangan internal OJK. Melalui aplikasi ini, DJP dapat mengakses informasi keuangan nasabah yang disetorkan perbankan ke OJK. Pembukaan data dan informasi keuangan melalui aplikasi ini juga akan menyingkat waktu pemeriksaan pajak secara signifikan, dari enam bulan menjadi cukup dua pekan.

Upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan transparansi perpajakan adalah dengan meluncurkan PMK No. 213/PMK.03/2016 yang mengatur Dokumentasi Transfer Pricing (TP Doc) dengan tiga tipe pendekatan, yaitu master file, local file, dan Country by Country Report (CbCR). Sehingga, seluruh perusahaan yang melakukan transaksi afiliasi baik domestik maupun internasional harus mengungkapkan struktur grupnya, aset tiap entitas, termasuk jumlah karyawan tiap entitas.

Peraturan yang merupakan bagian dari Rencana Aksi Anti-BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) ini juga digagas OECD sebagai upaya melawan praktik penghindaran pajak yang biasanya dilakukan oleh perusahaan multinasional.

Tak tanggung-tanggung, pemerintah juga memiliki Rencana Aksi Anti-BEPS lainnya yaitu Mandatory Disclosure Rule (MDR) yang mengatur wajib pajak atau promotornya, konsultan pajak, akuntan, lembaga investasi atau perbankan, wajib melaporkan perencanaan pajak klien mereka.

Perencanaan pajak ini juga perlu dilaporkan karena banyak perusahaan menerapkan perencanaan pajak agresif (aggressive tax planning) yang cenderung mengeksploitasi celah hukum semaksimal mungkin, agar mereka dapat membayar pajak lebih sedikit dengan cara tidak wajar.

Sumber : Proyeksi Perpajakan Indonesia

#9 Oleh : Levana Dhia Prawati (LDP)