Bersamaan dengan momentum HUT ke-73 kemerdekaannya, Indonesia masuk dalam proses transisi menuju negara berbasis industri dan jasa.

Hal ini diungkapkan Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RAPBN 2019 pada Kamis (16/8/2018). Menurutnya, aspek transisi ini menjadi poin utama untuk menggambarkan perekonomian Indonesia saat ini.

“Ekonomi Indonesia saat ini dalam proses transisi menuju negara berbasis industri dan jasa, dan seterusnya. Artinya, kita memang sedang ada dalam satu tahapan industrialisasi yang tingkatannya masuk ke yang lebih tinggi,” jelas Darmin.

Menurutnya, berbagai kebijakan yang disusun pemerintah saat ini mulai terlihat untuk menopang proses transisi tersebut. Presiden Joko Widodo, sambungnya, sudah menjelaskan adanya peningkatan perekonomian dunia. Meskipun, ada goncangan akhir-akhir ini.

Perekonomian dunia yang mulai menggeliat, lanjut Darmin, diproyeksikan akan turut mengerek volume perdagangan. Dalam konteks ini, negara yang paling diuntungkan di antara negara berkembang yakni negara yang lebih berorientasi ekspor.

“Kita [Indonesia] bukan termasuk negara itu. Oleh karena itu, pemerintah dari awal tahun sudah sudah memasang pilar-pilar kebijakan [mendukung industrialisasi],” imbuhnya.

Selain meneruskan pembangunan infrastruktur dengan beberapa catatan adanya perang dagang, pemerintah juga memberikan bantuan sosial yang cukup besar. Penekanan kebijakan lainnya yakni investasi dan ekspor.

Oleh karena itulah, pemerintah terus mempermudah prosedur investasi. Salah satu kebijakan yang sudah dilakukan baru-baru ini yakni pembentukan online single submission (OSS). Program ini untuk mempermudah investasi masuk, baik domestik maupun asing.

Pemerintah melalui Menteri Keuangan, lanjut Darmin, juga telah merumuskan berbagai insentif perpajakan. Insentif ini seperti tax holiday, mini tax holiday, tax allowance, pemangkasan pajak penghasilan (PPh) final UMKM, dan rencana skema super deduction tax.

“Ini semua mulai mengisi industri-industri yang kita sangat perlu tapi kita tidak punya. Insentif fiskal dan kemudahan perizinan itu terutama ditujukan untuk mengisi yang kosong, selain mempercepat pertumbuhan ekonomi,” jelas Mantan Dirjen Pajak ini.

Kendati demikian, pihaknya mengakui memang ada risiko dari perang dagang Amerika Serikat, China, maupun Eropa. Selain itu, ada normalisasi kebijakan moneter di negara maju, teruma di Amerika Serikat.

Beberapa peristiwa tersebut, pada gilirannya memunculkan dinamika baru dalam perekonomian global. Hal tersebut, menurut mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) ini, mengakibatkan adanya arus modal yang bergerak ke luar dari emerging country.

Kondisi ini pada gilirannya menekan neraca pembayaran Indonesia. Terlebih, sesuai data BI, neraca transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II/2018 tercatat defisit 3% dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, neraca perdagangan nonmigas mulai tercatat negatif.

Berbagai kebijakan akan ditempuh untuk menjaga neraca transaksi berjalan. Salah satunya, menurut Darmin, dengan kewajiban pencampuran biodiesel dalam BBM (B-20) dan berlaku mulai 1 September 2018.

Perpres yang berlaku baik untuk BBM subsidi maupun nonsubsidi ini diperkirakan akan berdampak pada penghematan senilai US$2 miliar pada tahun ini dan US$4 miliar pada tahun depan.

Selanjutnya, salah satu pilar kebijakan yang dilakukan untuk mendorong proses transisi perekonomian, menurut Darmin, yakni kebijakan pendidikan dan pelatihan vokasi. Hal ini dinilai krusial mengingat semakin ketatnya persaingan sumber daya manusia (SDM).

Tidak mengherankan jika kebijakan fiskal dan APBN 2019 dirancang dengan tema “APBN untuk Mendukung Investasi dan Daya Saing melalui Pembangunan Sumber Daya Manusia”.  (kaw).

Berikut postur RAPBN 2019:

sumber : https://news.ddtc.co.id/

foto : Maya safira dewi