( bagian 1 dari 2  tulisan )

Oleh : Mohamad Heykal, SE,M.Si

*: FM. Research Coordinator Accounting & Finance Department BINUS University

   Pada Jumat 23 Februari 2018, FEB  Universitas Muhammadiyah Jakarta menyelenggarakan workshop 2 metode penelitian yang mulai menjadi trend baru di dunia akuntansi, yaitu metode penelitian religionis dan metode penelitian eksperimen. Dari jurusan akuntansi dan keuangan BINUS University hadir Mohamad Heykal, SE,M.Si, dosen tetap dan juga research coordinator jurusan akuntansi dan keuangan. Beliau mengikuti workshop metode penelitian religionis. Yang menjadi pembicara adalah Prof Iwan Triyuwono, PhD dari Universitas Brawijaya, Dr M Nur Birton,Ak,M.Si  dari FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta serta Dr Ahim Abdurrahim dari FEB Universitas Muhammadiyah Jogjakarta.

   Bintang dalam workshop tersebut adalah Prof Iwan Triyuwono, SE,M.Ec,Ak, PhD, pakar akuntansi dari Universitas Brawijaya, Jakarta, yang juga dikenal sebagai pakar akuntansi yang mengembangkan riset akuntansi dengan konsep multiparadigma. Dalam keynote spekaernya, beliau menyampaikan materi dengan judul “ Paradigma Religionis, Menapak Titian Ayat Menuju Singgasana Tuhan”. Di sini beliau menyampaikan bahwa terdapat 7 paradigma dalam penelitian yang bisa dipergunakan, yaitu :

  1. Patradigma positivis
  2. Paradigma interpretivist
  3. Paradigma critical
  4. Paradigma postmodernis
  5. Paradigma religionis
  6. Paradigma spiritualist
  7. Paradigma divine atau ilahiah

   Dalam masing-masing paradigma ini, intinya memiliki metode ilmiah yang berbeda dengan ukuran dan dengan begitu memiliki kebenaran yang berbeda pula. Dengan adanya perbedaan tersebut maka akan menghasilkan bentuk dan teori yang berbeda pula. Prof Iwan menekankan berbagai jenis kesadaran untuk dapat memahami paradigma tersebut, yaitu :

  1. Kesadaran fisik untuk paradigma positivis
  2. Kesadaran makna untuk paradigma interpretivis
  3. Kesadaran emansipatif untuk paradigma kritis
  4. Kesadaran transedental untuk paradigma postmodernis
  5. Kesadaran religius untuk paradigma religionis
  6. Kesadaran spiritual untuk paradigma spiritualist
  7. Kesadaran ilahi untuk paradigma divine atau ilahiah

   Tingkat kesadaran  dari berbagai paradigma tersebut pada dasarnya menunjukkan satu hal, yaitu tangga yang harus dicapai oleh para peneliti agar bisa melakukan perjalanan ilmiah dan juga spiritual dalam rangka menuju pada Tuhan YME. Dimulai dengan paradigma positivis dimana di sana terdapat kesadaran fisik, dan diakhiri dengan paradigma ilahi dimana terdapat kesadaran ilahi. Dalam  paradigma akhir ini, sudah tidak ada lagi posisi ego seorang peneliti,yang ada hanyalah Tuhan semata.

   Prof Iwan  juga menyampaikan kritik beliau atas metode penelitian paradigma positivis. Dikatakan oleh beliau bahwa masyarakat akademik memiliki 1 dogma yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan modern haruslah netral dan bebas nilai, atau value free. Apakah betul harus seperti itu ? dalam kenyataannya, ilmu pengetahuan modern tidaklah bebas nilai, karena telah mengandung racun sehingga membuat orang yang mengemabngkan dan mempraktikkannya akan menjadikan orang tersebut terjangkiti oleh sel-sel kanker pemikiran. Racun itulah yang dinamakan dengan MESA, yaitu akronim dari materialistik, egoistik, sekularistik dan juga ateistik. Ilmu dengan berbagai muatan MESA ini lalu diajarkan kepada semua lembaga pendidikan yang juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membuat kehidupan masyarakat juga teracuni dengan berbagai pikiran MESA tadi. Prof Iwan menyampaikan satu demi satu kelemahan konsep MESA tadi. Dalam hal materialistik,maka semua realitas yang dapat diukur hanya yang tampak  secara fisik dan materi, serta  nyata. Yang tidak nampak secara materi, seperti rasa cinta, jin, iblis, malaikan dan Tuhan dianggap tidak ada. Dalam hal egoisistik, maka manusia dianggap sebagai makhluk fisik yang kehidupannya hanya berorientasi pada kenikmamatan materi bagi dirinya sendiri saja, sehingga hanya mementingkan nafsu lahiriahnya saja. Hal ini membuat manusia menjadi tidak berbeda dengan hewan yang hanya mementingkan nafsu fisiknya saja. Dalam hal sekuleristik, ditekankan bahwa kebenaran ilmu terletak dari kemampuan ilmu dalam   memberikan keuntungan ataupun manfaat bagi manusia. Sedangkan kebenaran yang berasal dari agama sama sekali tidak dianggap secara ilmiah. Kecedasasan spiritual dan religi tidak dianggap sebagai satu kecerdasan ilmiah. Paradima ini juga memisahkan antara ilmu dengan agama, dimana ilmu dan agama bukan domain yang bisa menjadi satu. Akibatnya, maka muncul konsep ateis, yaitu keberadaan makhluk Tuhan di luar manusia akan ditolak, bahkan dalam taraf tertentu juga menolak keberadaan Tuhan.

( Bersambung Ke Tulisan Ke Dua )