Di dalam sebuah masyarakat yang plural ,tuntutan hidup untuk saling menghargai dan saling memberi ruang antara satu kelompok budaya dengan kelompok budaya lain menjadi sebuah keniscayaan. Betapa tidak, jika antarkelompok budaya sering berbenturan dan tidak akur, alih alih menjadi pemerkaya khazanah kebangsaan, pluralitas budaya justru bisa menjadi sumber konflik dan perpecahan.

Pengalaman telah memperlihatkan bahwa pluralitas, senyatanya, sangat rentan terhadap friksi-friksi dan berpotensi kuat memicu timbulnya dominasi satu kelompok (mayoritas) atas kelompok lainnya (minoritas). Oleh karena itu, pluralitas budaya perlu dikelola secara bijak demi kehidupan yang harmonis dan bermartabat. Melekat dan identik dengan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa adalah pluralitas (kemajemukan): suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Perbedaan ini, tentunya, bukan sebuah bencana, melainkan suatu kekayaan yang luar biasa, jika dan hanya jika, antara satu kelompok dengan kelompok lain terbangun interaksi dan bekerja sama: saling mengenal, menghormati, menerima, dan memberi ruang. Sebaliknya, perbedaan akan menjadi suatu kutukan karena memunculkan segregasi sosial, diskriminasi, dan bahkan konflik.

Menurut Furnivall (1940), ciri utama masyarakat majemuk (plural society) adalah orang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan social mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik. Pengalaman bangsa ini sudah banyak menyodorkan bukti tentang segregasi sosial dan konflik berbasis isu SARA. Konflik antaragama (kasus Ambon), gesekan-gesekan sosial, perang antarkampung (kasus Lombok), pertikaian antarsuku (kasus Dayak versus Madura) merupakan beberapa bukti konflik yang pernah kita alami. Bahkan, pengalaman terbaru adalah kekerasan sektarian (kelompok Sunni versus Syiah) di Sampang dan tawuran antarpelajar (SMAN 60 versus SMAN 70) yang terjadi di Jakarta baru-baru ini (Kompas.com, Rabu, 26/09/2012).

Para pakar sebenarnya sudah banyak menawarkan langkah-langkah resolutif untuk mengatasi konflik-konflik horisontal berujung-kekerasan tersebut. Tulisan AM Fatwa (Kompas, 7/9/12) dan Fajar Riza Ul Haq (Kompas, 13/9/12), misalnya, menawarkan solusi agar negara seharusnya bertindak lebih proaktif untuk melakukan pembinaan dan keduanya menuntut lembaga-lembaga keagamaan dan tokoh-tokoh masyarakat agar lebih terlibat untuk memperbaiki berbagai konflik dan untuk meredam berbagai kekerasan sektarian yang terjadi.

Menurut penulis, saran-saran solutif di atas sudah cukup baik, namun masih perlu dikembangkan. Mengatasi persoalan-persoalan yang berbasis isu SARA tidak bisa semata dibebankan pada kelompok-kelompok tertentu saja, betapapun berwenangnya mereka itu.Semua pihak, semua warga negara, harus terlibat dan dilibatkan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang sudah masif ini. Kanalisasi politik etnik, solusi lain yang ditawarkan oleh Sofyan Sjaf (Kompas, 7/9/12), laik dijadikan pijakan resolutif. Ruang keadilan harus diberikan bagi tiap kelompok, tanpa memandang apakah kelompok itu mayoritas atau minoritas. Semua golongan berhak memperoleh ruang ekspresi diri dan berhak mengonstruksi identitas dirinya sendiri secara setara. Secara teoretik, di sinilah multikulturalisme memainkankan perannya mengatasi kelemahan yang dimiliki pluralisme.

Tidak dapat disangkal bahwa pluralisme masih cenderung memperlihatkan perbedaan-perbedaan perlakuan baik antara anggota masyarakat maupun antara kelompok masyarakat. Dengan kata lain, di dalam pluralisme masih ada dominasi yang kuat atas yang lemah, dominasi mayoritas atas minoritas,yang menyebabkan seringnya konflik terjadi. Jadi, kesadaran multikultural penting untuk dibangun dan digalakkan demi menutupi kelemahan pluralisme.

Berbagai cara dapat dilakukan, terutama lewat jalur keluarga (internal) dan jalur pendidikan (eksternal). Kesadaran multikulturalitas harus dimulai dari lingkup kecil (kehidupan keluarga). Kemudian, cara ini dikembangkan dengan jangkauan sosial yang lebih luas (pendidikan formal). Konsep pendidikan multikultural juga sudah menjadi komitmen global sejalan dengan rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di Jenewa.

Rekomendasi UNESCO memuat empat seruan, meliputi; (1)pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima sistem nilai dalam kebhinnekaan pribadi,ras, etnik, dan kultur; (2)pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memperkokohperdamaian, persaudaraan, dan solidaritas dalam masyarakat; (3)pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik secara damai;dan (4)pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam. Dengan terbangunnya suatu kesadaran multikultural semacam ini, pluralisme budaya niscaya dapat bersemai dalam corak kehidupan masyarakat yang harmonis

Seminar akan dilaksanakan oleh Binus University pada bulan Mei 2016 dengan pembicara Terry Chang

kd