Akuntansi, seperti bidang lain, menjunjung nilai-nilai khusus tertentu. Nilai-nilai khusus ini kemudian membentuk karakter dasar yang jika dijaga dengan baik bisa menjadi keunggulan tersindiri di lingkungan bisnis dan masyarakat secara luas.

Nilai tertinggi yang dipegang, dalam akuntansi, adalah “akuntabilitas” (accountability)—bisa dipertanggungjawabkan. Setiap angka yang tercatum dalam laporan akuntansi (baik manajemen maupun keuangan) harus bisa dipertanggungjawabkan—akuntabel.

Untuk bisa akuntabel, diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang hanya bisa diwujudkan jika memiliki karakter dasar yang diperlukan. Tuntutan akuntabilitas yang direfleksikan melalui aktivitas pekerjaan sehari-hari, yang kian lama kian terasah, akan membuat karakter dasar ini kian muncul ke permukaan, dan menjadi karakter bawaan akuntan dimanapun berada—baik di lingkungan bisnis maupun sosial masyarakat.

Inilah sepuluh karakter dasar yang mutlak harus dimiliki untuk menjadi akuntan handal:

1. Akurat

Bicara akuntansi sudah pasti bicara 2 hal, yaitu: (a) angka; dan (b) uang.

Angka harus akurat. Penggunaan uang (orang lain/pemilik usaha) harus akuntabel—bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga pekerjaan akuntansi esensinya adalah mengakurasikan dan mengakuntabelkan angka uang yang dipergunakan dalam aktivitas usaha.

Dari masa sekolah hingga bekerja, orang akuntansi dididik untuk menjadikan akurasi sebagai nilai yang tidak boleh dikompromikan. Nyaris tidak ada ruang untuk tidak akurat. Ketidakakuratan adalah cacat. Ketidakakuratan adalah masalah. Ketidakakuratan adalah kegagalan.

Misalnya: akuntansi hanya mengakui transaksi yang didukung oleh bukti transaksi yang valid. Dan angka yang diakui harus sama persis dengan yang tertera dalam bukti transaksi—hingga ke digit desimal di belakang koma.

Tuntutan ini membuat orang akuntansi menjadi terbiasa menggunakan akurasi sebagai salahsatu alat takar kualitas. Dan sebaliknya, menjadi tidak terbiasa menerima hal-hal yang tidak akurat.

Di sisi kehidupan manapun, akurasi adalah nilai positive. Akurasi menimbulkan trust (kepercayaan) dari pihak lain—baik di lingkungan bisnis maupun lingkungan sosial masyarakat. Sesuatu yang akurat jauh lebih dihargai dibandingkan yang kurang atau tidak akurat.

2. Detail

Akurasi membutuhkan detail. Tanpa detail yang cukup, akurasi tidak akan tercapai. Setiap pekerjaan akuntansi, yang manapun, selalu detail.

Misalnya: Beras 3 truck datang dari supplier tidak bisa dicatat dengan “Persediaan Beras 3 Truck Rp 200,000,000”. Tidak bisa. Harus rinci—dengan dengan menggunakan satuan ukur (unit measurement) terkecil. Jika satuan ukur terkecilnya beras adalah kilogram, maka satuan yang digunakan (dalam perhitungan maupun pencatatan) harus kilogram—tidak boleh “truck”. Untuk emas yang satuan ukur terkecilnya adalah gram, maka harus diakui dengan satuan gram.

Bagi orang akuntansi, sesuatu yang tidak detail cenderung tidak akurat—thus otomatis tidak bisa dipertanggungjawabkan. Itu sebabnya mengapa orang akuntansi cenderung terbiasa terhadap hal-hal yang sifatnya detail dan tidak terbiasa dengan yang sebaliknya.

Attention to detail” selalu bagus—dibandingkan generalisasi—di sisi kehidupan manapun, baik dalam lingkungan bisnis maupun sosial masyarakat. Di lingkunga bisnis misalnya, keputusan yang diambil dengan menggunakan backup data yang detail cenderung lebih tepat dibandingkan yang menggunakan dasar pertimbangan aggregate (bersifat general). Dan di lingkungan sosial masyarakat, dalam banyak kasus, generalisasi adalah sesuatu yang kurang dihargai.

3. Logis

Meskipun banyak bekerja menggunakan angka, pada kenyataannya akuntansi bukanlah ilmu pasti (exacta)—banyak menggunakan prinsip dan asumsi, namun masih dalam kisaran logis.

Dalam memahami persoalan (pekerjaan) akuntansi, orang akuntansi sendiri tidak sepenuhnya kaku, bisa menerima hal-hal yang masih dalam kisaran logis, tetapi tidak untuk sesuatu yang tidak logis.

Itu sebabnya mengapa orang akuntansi, dalam kesehariannya, adalah orang-orang yang lebih banyak menggunakan logika dibandingkan hal lain. Orang akuntansi tidak mudah menerima hal-hal yang tidak masuk akal.

Logis adalah nilai positive dalam dimensi kehidupan manapun, baik dalam lingkungan bisnis maupun sosial masyarakat. Di lingkungan bisnis misalnya, input dasar pengambilan-keputusan minimal harus logis, tidak bisa menggunakan asumsi dan pertimbangan ngawur. Dan di lingkuan sosial masyarakat, logis lebih bisa diterima dibandingkan tak logis (ngawur).

4. Terukur

Logika yang masih bisa diterima dalam akuntansi adalah logika yang terukur. Sehingga bisa dibilang bahwa, logika yang terukur (di atas kertas dan dalam pelaksanaan) adalah kualitas terendah yang bisa ditoleransi, dalam akuntansi. Segala sesuatunya, jika tidak bisa exact, minimal harus logis dan terukur.

Logika yang dianggap terukur oleh akuntansi adalah logika yang tertuang dalam prinsip dan asumsi yang sudah melalui pengujian yang cukup, lalu disepakati bersama dan diterima oleh umum—dalam literature disebut ‘prinsip prinsip akuntansi berterima umum” (PABU). Bukan prinsip dan asusmi ngawur. Harus masuk akal—baik secara teoritis maupun praktikal.

Terlebih-lebih tugas utama seorang akuntan, di lingkungan bisnis, adalah mengukur kinerja perusahaan dari aspek keuangan. Maka keterukuran adalah nilai minimal yang bisa diterma.

Untuk bisa melaksanakan fungsi utama sebagai pengukur, khsusunya di lingkungan bisnis, seorang akuntan dituntut untuk berpikir, berbicara, bersikap, dan bertindak, serba terukur. Konkretnya: seorang akuntan berpikir, berbicara, lalu melakukan tindakan berdasarkan fakta yang dibackup oleh data. Jika tidak ada data, minimal menggunakan logika yang terukur, yaitu: standar akuntansi dan undang-undang pajak.

Di lingkungan sosial, orang-orang akuntansi juga cenderung berpikir, berbicara, dan bertindak secara terukur (kecuali jika sedang berseloroh). Selalu menggunakan dasar rujukan pasti (hukum, norma, etika, budaya, dan nilai-nilai agama) yang berlaku di lingkungannya.

5. Konsisten

Akuntabilitas, disamping butuh akurasi, detail, kelogisan dan keterukuran, juga membutuhkan konsistensi. Tidak bisa naik-turun. Tidak bisa ‘ngalor-ngidul’, semuanya harus dilakukan secara konsisten:

  • Prosedur akuntansi (pengkuran, pengakuan dan pelaporan) harus konsisten
  • Metode apapun yang digunakan harus konsisten
  • Satuan ukur terkecil yang digunakan harus konsisten
  • Format penyajian laporan harus konsisten
  • Dan lain sebagainya, semua harus konsisten

Tuntutan konsistensi tersebut, jelas atau tersamar, terefleksi dalam pola-pikir dan perilaku orang-orang akuntansi itu sendiri—di langkungan manapun berada; mereka cenderung menunjukan pola-pikir dan perilaku yang konsisten. Tidak mencla-mencle. Tidak plintant-plintut.

Sekali bilang tidak boleh menggunakan fasilitas kantor, maka selamanya tidak boleh. Sekali tidak menerima permintaan belanja tanpa PO, selamanya tidak akan mau menerima. Sekali bilang tidak bisa cash bon, maka selanya tidak akan bisa.

6. Disiplin

Tanpa disiplin tinggi, konsistensi tidak akan terjadi. Konsistensi, butuh disiplin tinggi:

  • Tidak menyepelekan fakta (data) sekecil apapun;
  • Taat pada prosedur dan kebijakan perusahaan;
  • Taat pada aturan pemerintah;
  • Taat pada standard an kode etik;
  • Taat pada prinsip yang berterima umum dan praktek yang lazim

Disamping akurasi dan konsistensi, laporan yang dibuat melalui proses akuntansi—yaitu laporan keuangan—harus relevan, disajikan tepat waktu, tidak kedaluarsa. Untuk bisa memenuhi target waktu penyampaia laporan keuangan, juga memerlukan disiplin yang tinggi.

Secara keseluruhan, pekerjaan akuntansi tergolong pekerjaan yang membutuhkan disiplin yang tidak main-main.

Tidak tahu di tempat lain, sejauh yang saya lihat; anak akuntansi (baik yang masih belajar maupun yang sudah bekerja) memanglah disiplin. Dan itu adalah karakter yang positive di lingkungan manapun, terlebih-lebih di lingkungan bisnis. Tak ada satu perusahaan (organisasi) pun yang suka terhadap personnel yang tidak disiplin.

7. Skeptis

Dari karakter pertama hingga kelima di atas, jelas dan tak diragukan lagi, menjadi skeptis adalah sebuah konsekwensi yang tidak bisa dihindari. Untungnya, sekpetis adalah salah nilai yang positive (bukan negatif).

Bahkan, dalam akuntansi, menjadi skeptis adalah sesuatu yang dianjurkan—saya pribadi malah mengharuskan, jika ingin menjadi akuntan yang handal harus memiliki level skepticism yang tinggi.

Berbeda dengan sinis (cynic), skeptik dalam hal ini maksudnya adalah:

  • Tidak mudah mengatakan iya – Orang akuntansi, secara informal, memang tidak diperkenaankan untuk mudah mengatakan “iya”. Standar minimal yang digunakan adalah “apa iya?”. Selanjutnya dicari tahu, kumpulkan data dan fakta sebelum mengubah “apa iya?” menjadi “iya” atau “no way”.
  • Tidak mempercayai infomasi (apapun bentuknya) sebelum melakukan verifikasi – Khususnya di wilayah auditing, para auditor—baik eksternal maupun internal—diwajibkan untuk hanya mempercayai data dan fakta (bukti transaksi yang valid). Di dalam perusahaan, akuntan hanya boleh mempercayai data dan informasi setelah diverifikasi validitasnya.

Orang akuntansi, secara profesi memang wajib skeptis; tidak mudah mengatakan iya; dan tidak mudah mempercayai informasi tanpa data dan fakta.

8. Sederhana

Sederet nilai kualitas (mulai dari akurasi hingga konsistensi), belum jaminan pasti untuk bisa mewujudkan kondisi akuntabel. Untuk itu akuntansi menganjurkan agar para akuntan mengedepankan kehati-hatian dalam menjalankan proses akuntansi—konservatif (conservatism).

Karena laporan keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban manajemen (pengelola) perusahaan terhadap pemilik usaha (para pemegang saham), maka yang dimaksud dengan kehai-hatian dalam akuntansi adalah:

  • Lebih baik mengakui laba yang lebih kecil dari kenyataannya, dibandingkan lebih besar (jika diturunkan, jadinya: akui potensi beban/biaya tapi jangan potensi pendapatan)
  • Lebih baik mengakui aset lebih rendah dari kenyataannya, dibandingkan lebih besar. Sebaliknya lebih baik mengakui kewajiban lebih tinggi dari kenyataannya, dibandingkan lebih rendah.

Jika dipandang dari akuntan independent, prinsip di atas adalah wujud dari kehati-hatian (melindungi diri dari risiko lebih mengakui nilai perusahaan klien). Tetapi jika dipandang dari akuntan yang bekerja di dalam perusahaan, itu adalah wujud dari kesederhanaan—simplicity. Lebih baik nampak lebih kecil daripada nampak lebih besar dari aslinya.

Kesederhanaan juga nampak dari penampilan dan gaya hidup para akuntan. Anda tidak akan pernah menemukan akuntan yang berpenampilan serba “wah”—meskipun sesungguhnya, secara finansial, mereka mampu untuk itu.

9. Jujur

Tentu jujur adalah hal terpenting dalam mewujudkan akuntabilitas.

Jika hal pertama hingga ke 8 di atas sudah terwujud, otomatis kejujuran terwujud dengan sendirinya. Bila tidak, maka minimal, kejujuran harus ada. Bisa jadi akurasi dan yang lain-lainnya tidak bisa terwujud karena kondisi tertentu. Tetapi kejujuran harus ada.

Boleh dikatakan bahwa, kejujuran adalah hal paling terakhir yang bisa dipegang dari seorang akuntan—pada saat akurasi, detail, kelogisan, keterukuran, konsistensi dan lain-lainnya, terpaksa tidak bisa diwujudkan. Seburuk-buruknya kinerja seorang akuntan, minimal dia harus jujur. Tanpa itu, maka habislah karirnya.

Konkretnya, laporkan kondisi keuangan perusahaan apa adanya, tanpa ada niat melakukan kecurangan—baik atas nama sendiri, kelompok, maupun perusahaan itu sendiri.

10. Gigih

Meskipun tidak serumit membuat mesin roket, pekerjaan akuntansi tergolong tidak sederhana dan bersifat teknikal—mengandung kerumitan yang memerlukan pembelajaran khusus untuk bisa menguasainya. Tidak bisa instant.

Untuk bisa memahami dan menjalankan pekerjaan akuntansi dengan baik, dibutuhkan level kegigihan yang ekstra. Dalam banyak kasus, khususnya di lingkungan KAP, bekerja dalam jam yang panjang adalah sesuatu yang lumrah.

Disamping teknikal, akuntansi juga bersifat dinamis, terus mengalami perubahan—mengikuti perkembangan lingkungan bisnis. Memilih akuntansi, harus siap untuk terus belajar (sambil bekerja) sepanjang waktu—

Kegigihan, kemauan dan daya juang yang tinggi, adalah nilai positive, dimanapun—syarat mutlak yang dibutuhkan untuk sukses dalam menjalankan profesi apapun.

Secara keseluruhan, melalui pembelajaran akuntansi (sejak di masa sekolah hingga di masa kerja), semua orang akuntansi sudah dibekali dengan nilai-nilai dasar tersebut. Hanya saja, diperlukan kesungguhan dan keseriusan untuk bisa menjaga dan merefleksikan nilai tersebut, SECARA KONSISTEN, melalui pola-pikir, sikap dan perilaku sehari-hari. Sukses selalu untuk anda. Selamat berakhir pekan.

Reference :

http://jagoakuntansi.com