PERHITUNGAN pajak menggunakan nilai wajar (fair value) masih tidak diperbolehkan. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) tidak mengatur  tentang penghitungan nilai wajar tersebut. Hal itu dikatakan Dadang Suwarna, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan belum lama ini.

Pasal 28 UU KUP menyebutkan, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.

Menurut Dadang, dalam konteks pajak metode pengukuran yang digunakan adalah historical cost (harga perolehan). “Sepertinya UU tidak akan berubah dan akan tetap menggunakan historical cost,” katanya di sela pembentukan Kompartemen Akuntan Pajak (KAPj) IAI, medio Maret lalu. “Tapi memang untuk menjembatani antara historical cost dan fair value tersebut, kita bikin harmonisasinya. Antara lain lewat KAPj IAI ini.”

Meski begitu, dia akan tetap menjembatani perbedaan peraturan Perpajakan yang ada dengan SAK yang sudah konvergen dengan International Financial Reporting Standard (IFRS). Langkah ini dilakukan agar ke depannya tidak terjadi dispute. “Bagaimana cara menghitung pajaknya agar metode fair values ini dapat dilakukan sehingga nantinya menjadi penghitungan yang pas? Itu semua tengah kami lakukan,” ia menegaskan.

Dadang menambahkan, selama ini untuk penghitungan fair value dengan dasar IFRS itu digunakan cara penghitungan piutang, kas, persediaan, aset, dan lainnya. Menurut dia, alasan UU masih mengatur penggunaan historical cost karena faktor keadilan. Disebutkannya, penghitungan yang berdasar nilai estimasi itu dianggap tidak adil, soalnya penghitungan nilai itu lebih ke perkiraan.

Direktur Peraturan Perpajakan II DJP, John Hutagaol, juga berpandangan sama. “Penghitungan pajak tidak bisa menggunakan perkiraan, tapi harus memakai angka yang real. Misalnya, bangun gedung senilai Rp5 miliar, kemudian beberapa saat kemudian ditaksir jadi Rp10 miliar. Tetap yang digunakan angka yang Rp5 miliar, karena dalam perpajakan tidak diperkenankan adanya estimasi,” katanya, lugas. “Harus dengan nilai yang real sehingga nilai pajaknya jelas. Kalau (penghitungan) yang lebih ke estimasi itu di akuntansi komersial.”

Kendati begitu, dia mengakui kalau menggunakan penghitungan fair value yang bersumber dari IFRS tersebut, bisa jadi pendapatan sektor pajak lebih besar lagi. Karena kalau penghitungan menggunakan nilai pasar saat ini, ketika nilai dari barang lebih besar maka nilai pajaknya pun mestinya lebih besar.

Termasuk juga dalam menggunakan mata uang fungsional di luar Rupiah dan USD. Ketika mata uang yang digunakan sedang menguat, mestinya nilai pajaknya juga lebih tinggi. Tapi, sayangnya, regulasi perpajakan tidak megakui itu. “Karena bicara pajak dasarnya adalah UU. Dan UU tidak mengatur itu semua,” John menegaskan.

 

Pertimbangan DJP soal Konvergensi

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang telah konvergen dengan IFRS merupakan pedoman pengelolaan keuangan bagi semua entitas di Indonesia. Menurut Dadang, kondisi ini juga menjadi kajian  di internal Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam pertimbangan ini, ada beberapa poin yang masih dalam pembahasan. Dari pertimbangan tersebut melahirkan keinginan menyederhanakan pelaporan keuangan, dengan catatan tanpa ada koreksi fiskal.

Menurut Dadang, ada sejumlah pertimbangan. Pertama, pertimbangan penerimaan negara di mana fungsi utama dari DJP adalah sebagai fungsi budgeter. Dalam hal ini, DJP mengakui penggunaan metode LIFO (Last In First Out) ini dapat menggerus penerimaan Pajak Penghasilan (PPh).

Pertimbangan kedua, apabila diadopsi, bakal menyalahi konsep waktu dalam pemajakan. Karena, dari sisi waktunya, pemajakan dilakukan sedekat mungkin dengan saat terealisasinya penghasilan/biaya, yaitu adanya pengakuan atas penghasilan yang meliputi keuntungan dan kerugian yang belum direalisasikan (unrealized gain/loss), marketable, dan securities.

Pertimbangan ketiga, IFRS mengakui adanya perbedaan (tercermin dari adanya DTA/DTL IAS 12 Income Taxes). Kemudian keempat, legalitas formal sebuah transaksi lebih dikedepankan dari substansi dibanding sebuah judgement, karena judgement rentan menimbulkan sengketa.

Dengan begitu, dalam sebuah penyajian laporan keuangan yang diakui oleh pihak DJP, menurut Dadang, ada sejumlah poin yang mesti dikedepankan. Yang pertama, minimal sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU KUP dan Penjelasannya.

Yang kedua, pengungkapan yang memadai atas beberapa poin krusial, yaitu terkait, transaksi hubungan berelasi (related party transaction); perincian detail atas akun pendapatan; ekspor/lokal, terutang PPN/tidak, dikenakan pajak final/normal; pengungkapan memadai atas setiap akun penyisihan/provisi; pengungkapan memadai atas beban yang terjadi; contoh: biaya pengobatan (apakah dalam bentuk tunjangan atau reimbursement, apakah diberikan tunai atau dalam bentuk natura); kemudian pengungkapan yang memadai atas nilai perolehan aset tetap (apakah termasuk kapitalisasi PPN Pajak Masukan atau tidak).“Dan, yang ketiga, mempertimbangkan ‘kelas entitas’ agar adanya pembatasan ruang untuk professional judgement,” ungkap Dadang.

Poin Penting DJP

Nomor Keterangan
Tidak ada perlakuan khusus pemeriksaan pajak atas wajib pajak (WP) yang menggunakan Pelaporan Keuangan Berbasis PSAK yang konvergen dengan IFRS
Hingga saat ini, DJP belum mengadopsi IFRS. Dengan demikian, pemeriksaan dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang dan Tata Cara Pemeriksaan yang berlaku.
Pembukuan WP agar diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim, misalnya berdasarkan SAK, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.
Apabila terdapat perbedaan perhitungan secara komersial dan fiskal, maka WP melakukan rekonsiliasi fiskal yang dapat ditelusuri perbedaannya pada rekonsiliasi fiskal (Penyesuaian Fiskal Positif dan Negatif)
Dalam pemeriksaan, seringkali WP belum memenuhi ketentuan yang berlaku (pembukuan tidak lengkap, penyesuaian fiskal tidak diungkap secara memadai, dll), sehingga pemeriksa melakukan koreksi yang signifikan.

 

Standing Position DJP terhadap IFRS

Nomor Pilihan Keterangan
1 Mengadopsi IFRS -Menyederhanakan pelaporan keuangan

-Perubahan aturan perpajakan sesuai dengan PSAK berdasarkan IFRS

-Perlu dipertimbangkan efeknya terhadap fungsi DJP sebagai pengumpul penerimaan negara

2 Tidak Mengadopsi IFRS -Prinsip-prinsip dalam IFRS tidak bisa diterapkan dalam penghitungan pajak.

-DJP memiliki kewenangan untuk menerapkan ketentuan perpajakan.

-Selama ini telah dilakukan rekonsiliasi fiskal.

-Ada Deferred Tax Asset (DTA)/Deferred Tax Liability(DTL) di PSAK yang sebenarnya merupakan “pengakuan” atas perbedaan antara ketentuan pajak dengan ketentuan komersial.

3 Mengadopsi sebagian IFRS -Menyederhanakan pelaporan keuangan.

-Perubahan aturan perpajakan untuk hal yang sangat penting.

-Tetap dibutuhkan rekonsiliasi fiskal.

 

Referensi :

iaiglobal.or.id