PERANAN usaha mikro, kecil, dan menengah terhadap perekonomian Indonesia belakangan jadi menarik dan ramai diperbincangkan mengingat jumlah lapangan kerja yang besar di sektor ini. Selain itu, tentu saja karena kontribusi yang besar terhadap produk domestik bruto.

Sebagaimana usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di banyak negara, UMKM Indonesia juga memainkan peranan signifikan bagi perekonomian nasional. Di Indonesia, jumlah UMKM mencapai 56 juta unit dan menyumbang sekitar 60 persen dari total GDP dan menampung 97 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2012.

Meski UMKM berperan dominan terhadap perekonomian nasional, apabila dikaitkan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan, terlihat bahwa kepatuhan pajak UMKM masih belum memadai. Meski jumlah UMKM di atas 50 juta unit, jumlah pembayar pajak ”orang pribadi” yang memiliki NPWP masih sekitar 20 juta. Mengapa tingkat kepatuhan pajak tersebut masih rendah?

Perpajakan UKM

Ada beberapa alasan mengapa pembayar pajak UMKM belum maksimal berkontribusi dalam penerimaan pajak. Pertama, usaha dengan karakteristik tersebut mengalami kendala utama dalam bidang administrasi. Sebab, secara umum perkembangan UMKM dimulai dari usaha perorangan, yang jika berkembang, berbentuk badan dengan skala kecil menengah. Beban administrasi yang kompleks akan meningkatkan biaya kepatuhan pajak yang dapat menurunkan daya saing UMKM. Hal ini berdampak terhadap tingkat kepatuhan pajak yang rendah.

 Kedua, tarif pajak yang tidak kompetitif bagi pembayar pajak UMKM untuk berkompetisi dengan non-UMKM. Sebagai contoh, bagi para pelaku UMKM pajak merupakan komponen biaya dalam penghitungan sederhana. Jika tingkat keuntungan sebelum pajak 10 persen dengan Pajak Penghasilan (PPh) 1 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 3 persen , akan dihasilkan keuntungan 6 persen.

Dengan penghitungan sederhana ini, para pengusaha UMKM akan mudah melaksanakan pemenuhan kewajiban pajaknya, di samping—tentu saja—memprediksi keuntungan yang dapat direalisasikan. Sebaliknya jika tarif pajak terlalu tinggi, misalnya total PPN dan PPh 11 persen, dengan tingkat keuntungan yang sama, memungkinkan timbulnya ketidakpatuhan karena cost dan revenue sudah tidak matching.

Ketiga, etika dan pengaruh lingkungan terhadap tingkat kepatuhan pembayar pajak UMKM. Hal ini dapat disebabkan ketidakjujuran wajib pajak (WP) UMKM atau pengaruh keluarga dan lingkungan. Keempat, kemungkinan untuk terdeteksi aparat pajak. Dengan adanya kemungkinan diperiksa atau terdeteksi atas kewajiban pajak yang ada, berdampak terhadap tingkat kepatuhan pembayar pajak.

 Perpajakan atas UKM terdiri atas dua jenis pajak utama yang memiliki peran signifikan, yaitu PPh dan PPN, dengan PPh sebagai pajak dominan. Berdasarkan PP No 46/2013, wajib pajak dengan peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dikenakan PPh 1 persen dari total peredaran usaha  dan bersifat final. Pelaku UMKM tak harus menghitung secara tepat berapa keuntungan yang dihasilkan karena pajak tersebut bersifat final sehingga tidak dipengaruhi oleh jumlah keuntungan yang dihasilkan.

 Ini berarti pembayar pajak di sektor ini dipermudah, baik dari segi administrasi maupun tarif yang kompetitif. Namun, PPN masih jadi kendala mengingat kewajiban sebagai pengusaha kena pajak (PKP) dengan peredaran usaha di atas Rp 600 juta.

Apabila merujuk peraturan yang berlaku, yakni UMKM dengan peredaran di bawah Rp 4,8 miliar wajib memungut PPN 10 persen, bagi UMKM hal ini jadi beban. Di sini tarif pajak dan kesederhanaan administrasi jadi isu utama yang dapat berimplikasi terhadap ketidakpatuhan wajib pajak UMKM, belum lagi ketidakjujuran pembayar pajak.

Di pengujung 2013, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 197 yang mulai berlaku pada awal 2014 meningkatkan batasan wajib PKP jadi Rp 4.8 miliar per tahun. Hal ini bagaikan memberi angin segar dengan semakin memberi kemudahan bagi pelaku usaha di sektor ini. Ini berarti bagi UMKM hanya ada satu pajak utama yang jadi beban dalam komponen penghitungan keuntungan, yaitu PPh 1 persen.

Implikasi terhadap UKM

Terkait kebijakan dalam PP No 46/2013  dan PMK No 197/2013, tidak saja membawa angin segar bagi pelaku UMKM dengan tarif yang kompetitif, tetapi juga kesederhanaan dalam pemenuhan kewajiban pelaporan pajak tahunan. Karena itu, kombinasi tentang PPh 1 persen dan peningkatan batasan untuk jadi PKP adalah solusi yang selaras menunjang tingkat kepatuhan wajib pajak UMKM.

Sebagai contoh, wajib pajak UMKM yang memiliki usaha di atas 600 juta dan di bawah Rp 4,8 miliar tidak punya beban untuk dikenai PPN 10 persen karena dapat memilih untuk tak menjadi PKP. Mengingat secara umum pelaku UMKM kesulitan dalam administrasi, PPN yang seharusnya dibebankan kepada pembeli akan menjadi beban penjual.

Dengan logika sederhana, dapat dipahami bahwa pada jumlah keuntungan yang sama dengan pajak yang harus dibayar akan sulit didapatkan kejujuran dari pembayar pajak. Hal ini dapat berpotensi meningkatkan ketakpatuhan pembayar pajak dari sektor UMKM karena PPN tidak berfungsi sebagai credit method tetapi menjadi bagian dari harga pokok penjualan. Dengan demikian, kedua peraturan tersebut tidak saja dapat meningkatkan tax compliance pembayar pajak UMKM, tetapi juga meningkatkan daya saing UMKM yang berarti menunjang perekonomian nasional.

Akhirnya, pengawasan atas kewajiban pajak UMKM serta kebijakan yang pro UMKM akan menekan tax compliance cost dan mendorong kepatuhan pembayar pajak. Peningkatan kepatuhan pembayaran pajak berarti peningkatan penerimaan pajak dan penurunan tingkat ketidakjujuran pembayar pajak.

Dengan demikian, diharapkan akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak serta daya saing UMKM yang memberikan kontribusi besar bagi PDB nasional dan penciptaan lapangan kerja.

 Fany Inasius, Dosen di Fakultas Ekonomi dan Komunikasi Universitas Bina Nusantara Jakarta (diterbitkan di harian Kompas tanggal 7 Maret tahun 2014)